DEFINISI KEMISKINAN
a. Pandangan tentang kemiskinan
Pebedaan pandangan dari setiap ahli tentang
kemiskinan merupakan hal yang wajar. Hal ini karena data, dan metode penelitian
yang berbeda , tetapi justru terletak pada latar belakang idiologisnya. Menurut
Weber (Swasono , 1987), ideology bukan saja menentukan macam masalah yang
dianggap penting, tetapi juga mempengaruhi cara mendefenisikan masalah sosial
ekonomis, dan bagaimana masalah sosial ekonomi itu diatasi. Kemiskinan
disepakati sebagai masalah yang bersifat sosial ekonomi, tetapi penyebab dan
cara mengatasinya terkait dengan ideologi yang melandasinya. Untuk memahami
ideologi tersebut ada tiga pandangan pemikiran yaitu konservatisme,
liberalisme, dan radikalisme (Swasono, 1987). Penganut masing-masing pandangan
memiliki cara pandang yang berbeda dalam menjelaskan kemiskinan. Kaum
konservatif memandang kemiskinan bermula dari karakteristik khas orang miskin
itu sendiri. Orang menjadi miskin karena tidak mau bekerja keras , boros, tidak
mempunyai rencana, kurang memiliki jiwa wiraswasta, fatalis, dan tidak ada
hasrat untuk berpartisipasi.
Menurut Oscar Lewis (1983), orang-orang miskin
adalah kelompok yang mempunyai budaya kemiskinan sendiri yang mencakup
karakteristik psikologis sosial, dan ekonomi. Kaum liberal memandang bahwa
manusia sebagai makhluk yang baik tetapi sangat dipengaruhi oleh lingkungan.
Budaya kemiskinan hanyalah semacam realistic and situational adaptation pada
linkungan yang penuh diskriminasi dan peluang yang sempit. Kaum radikal
mengabaikan budaya kemiskinan, mereka menekankan peranan struktur ekonomi,
politik dan sosial, dan memandang bahwa manusia adalah makhluk yang kooperatif,
produktif dan kreatif.
Philips dan Legates (1981) mengemukakan empat
pandangan tentang kemiskinan, yaitu pertama, kemiskinan dilihat
sebagai akibat dari kegagalan personal dan sikap tertentu khususnya ciri-ciri
sosial psikologis individu dari si miskin yang cendrung menghambat untuk
melakukan perbaikan nasibnya. Akibatnya, si miskin tidak melakukan rencana ke
depan, menabung dan mengejar tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Kedua,
kemiskinan dipandang sebagai akibat dari sub budaya tertentu yang diturunkan
dari generasi ke generasi. Kaum miskin adalah kelompok masyarakat yang memiliki
subkultur tertentu yang berbeda dari golongan yang tidak miskin, seperti
memiliki sikap fatalis, tidak mampu melakukan pengendalian diri, berorientasi
pada masa sekarang, tidak mampu menunda kenikmatan atau melakukan rencana bagi
masa mendatang, kurang memiliki kesadaran kelas, atau gagal dalam melihat
faktor-faktor ekonomi seperti kesempatan yang dapat mengubah nasibnya. Ketiga,
kemiskinan dipandang sebagai akibat kurangnya kesempatan, kaum miskin selalu
kekurangan dalam bidang keterampilan dan pendidikan untuk memperoleh pekerjaan
dalam masyarakat. Keempat, bahwa kemiskinan merupakan suatu
ciri struktural dari kapitalisme, bahwa dalam masyarakat kapitalis segelintir
orang menjadi miskin karena yang lain menjadi kaya. Jika dikaitkan dengan
pandangan konservatisme, liberalisme dan radikalisme, maka poin pertama dan
kedua tersebut mencerminkan pandangan konservatif, yang cendrung mempersalahkan
kemiskinan bersumber dari dalam diri si miskin itu sendiri. Ketiga lebih
mencerminkan aliran liberalisme, yang cendrung menyalahkan ketidakmapuan struktur
kelembagaan yang ada. Keempat dipengaruhi oleh pandangan radikalis yang
mempersalahkan hakekat atau prilaku negara kapitalis.
Masing-masing pandangan tersebut bukan hanya
berbeda dalam konsep kemiskinan saja, tetapi juga dalam implikasi kebijakan untuk
menanggulanginya. Keban (1994) menjelaskan bahwa pandangan konservatif cendrung
melihat bahwa program-program pemerintah yang dirancang untuk mengubah sikap
mental si miskin merupakan usaha yang sia-sia karena akan memancing manipulasi
kenaikan jumlah kaum miskin yang ingin menikmati program pelayanan pemerintah.
Pemerintah juga dilihat sebagai pihak yang justru merangsang timbulnya
kemiskinan. Aliran liberal yang melihat si miskin sebagai pihak yang mengalami
kekurangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, pelatihan, pekerjaan dan
perumahan yang layak, cendrung merasa optimis tentang kaum miskin dan
menganggap mereka sebagai sumber daya yang dapat berkembang seperti halnya
orang-orang kaya. Bantuan program pemerintah dipandang sangat bermanfaat dan perlu
direalisasikan. Pandangan radikal memandang bahwa kemiskinan disebabkan
struktur kelembagaan seperti ekonomi dan politiknya, maka kebijakan yang dapat
ditempuh adalah dengan melakukan perubahan kelembagaan ekonomi dan politik
secara radikal.
Menurut Flanagan (1994), ada dua pandangan yang
berbeda tentang kemiskinan, yaitu culturalist dan structuralist. Kulturalis
cendrung menyalahkan kaum miskin, meskipun kesempatan ada mereka gagal
memanfaatkannya, karena terjebak dalam budaya kemiskinan. Strukturalis
beranggapan bahwa sumber kemiskinan tidak terdapat pada diri orang miskin,
tetapi adalah sebagai akibat dari perubahan priodik dalam bidang sosial dan
ekonomi seperti kehilangan pekerjaan, rendahnya tingkat upah, diskriminasi dan
sebagainya. Implikasi dari dua pandangan ini juga berbeda, terhadap konsep
kulturalis perlu dilakukan perubahan aspek kultural misalnya pengubahan
kebiasaan hidup. Hal ini akan sulit dan memakan waktu lama, dan biaya yang
tidak sedikit. Terhadap konsep kulturalis perlu dilakukan pengubahan struktur
kelembagaan seperti kelembagaan ekonomi, sosial dan kelembagaan lain yang
terkait.
Pengertian Kemiskinan
Memahamai substansi kemiskinan merupakan langkah
penting bagi perencana program dalam mengatasi kemiskinan. Menurut Sutrisno
(1993), ada dua sudut pandang dalam memahami substansi kemiskinan di Indonesia.
Pertama adalah kelompok pakar dan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
mengikuti pikiran kelompok agrarian populism, bahwa kemiskinan itu
hakekatnya, adalah masalah campur tangan yang terlalu luas dari negara dalam
kehidupan masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat pedesaan. Dalam
pandangan ini, orang miskin mampu membangun diri mereka sendiri apabila
pemerintah memberi kebebasan bagi kelompok itu untuk mengatur diri mereka
sendiri. Kedua, kelompok para pejabat, yang melihat inti dari masalah
kemiskinan sebagai masalah budaya. Orang menjadi miskin karena tidak memiliki
etos kerja yang tinggi, tidak meiliki jiwa wiraswasta, dan pendidikannya
rendah. Disamping itu, kemiskinan juga terkait dengan kualitas sumberdaya
manusia. Berbagai sudut pandang tentang kemiskinan di Indonesia dalam memahami
kemiskinan pada dasarnya merupakan upaya orang luar untuk memahami tentang
kemiskinan. Hingga saat ini belum ada yang mengkaji masalah kemiskinan dari
sudut pandang kelompok miskin itu sendiri.
Kajian Chambers (1983) lebih melihat masalah
kemiskinan dari dimensi si miskin itu sendiri dengan deprivation trap, tetapi
Chambers sendiri belum menjelaskan tentang alasan terjadinya deprivation
trap itu. Dalam tulisan ini dicoba menggabungkan dua sudut pandang dari
luar kelompok miskin, dengan mengembangkan lima unsur keterjebakan yang
dikemukakan oleh Chambers (1983), yaitu : (1) kemiskinan itu sendiri, (2)
kelemahan fisik, (3) Keterasingan, (4) Kerentanan, dan (5) Ketidak berdayaan.
Pengertian kemiskinan disampaikan oleh beberapa
ahli atau lembaga, diantaranya adalah BAPPENAS (1993) mendefisnisikan
keimiskinan sebagai situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena kehendak
oleh si miskin, melainkan karena keadaan yang tidak dapat dihindari dengan
kekuatan yang ada padanya. Levitan (1980) mengemukakan kemiskinan adalah
kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai
suatu standar hidup yang layak. Faturchman dan Marcelinus Molo (1994)
mendefenisikan bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dan atau rumah
tangga untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Menurut Ellis (1994) kemiskinan
merupakan gejala multidimensional yang dapat ditelaah dari dimensi ekonomi,
sosial politik. Menurut Suparlan (1993) kemiskinan didefinisikan sebagai suatu
standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi
pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang
umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Reitsma dan Kleinpenning
(1994) mendefisnisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi
kebutuhannya, baik yang bersifat material maupun non material. Friedman (1979)
mengemukakan kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk memformulasikan
basis kekuasaan sosial, yang meliptui : asset (tanah, perumahan, peralatan,
kesehatan), sumber keuangan (pendapatan dan kredit yang memadai), organisiasi
sosial politik yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai kepentingan bersama,
jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang atau jasa, pengetahuan dan
keterampilan yang memadai, dan informasi yang berguna. Dengan beberapa
pengertian tersebut dapat diambil satu poengertian bahwa kemiskinan adalah
suatu situasi baik yang merupakan proses maupun akibat dari adanya
ketidakmampuan individu berinteraksi dengan lingkungannya untuk kebutuhan
hidupnya.
Budaya Kemiskinan
Sumarjan (1993) mengemukakan bahwa budaya
kemiskinan adalah tata hidup yang mengandung sistem kaidah serta sistem nilai
yang menganggap bahwa taraf hidup miskin disandang suatu masyarakat pada suatu
waktu adalah wajar dan tidak perlu diusahakan perbaikannya. Kemiskinan yang
diderita oleh masyarakat dianggap sudah menjadi nasib dan tidak mungkin
dirubah, karena itu manusia dan masyarakat harus menyesuaikan diri pada
kemiskinan itu, agar tidak merasa keresahan jiwa dan frustrasi secara berkepanjangan.
Dalam rangka budaya miskin ini, manusia dan masyarakat menyerah kepada nasib
dan bersikap tidak perlu, dan bahkan juga tidak mampu menggunakan sumber daya
lingkungan untuk mengubah nasib.
Menurut Oscar Lewis (1983), budaya kemiskinan
merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian, dan sekaligus juga merupakan reaksi
kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang
berstrata kelas, sangat individualist dan berciri kapitalisme. Budaya tersebut
mencerminkan suatu upaya mengatasi rasa putus asa dan tanpa harapan, yang
merupakan perwujudan dan kesadaran akan mustahilnya mencapai akses, dan lebih
merupakan usaha menikmati masalah yang tak terpecahkan (tak tercukupi syarat,
tidak sanggupan). Budaya kemiskinan melampaui batas-batas perbedaan daerah,
perbedaan pedesaan-perkotaan, perbedaan bangsa dan negara, dan memperlihatkan
perasaan yang mencolok dalam struktur keluarga, hubungan-hubungan antar
pribadi, orientasi waktu, sistem-sistem nilai, dan pola-pola pembelanjaan.
Menurut Lewis (1983), budaya kemiskinan dapat
terwujud dalam berbagai konteks sejarah, namun lebih cendrung untuk tumbuh dan
berkembang di dalam masyarakat yang memiliki seperangkat kondisi: (1) Sistem
ekonomi uang, buruh upahan dan sistem produksi untuk keuntungan, (2) tetap
tingginya tingkat pengangguran dan setengah pengangguran bagi tenaga tak
terampil; (3) rendahnya upah buruh; (4) tidak berhasilnya golongan
berpenghasilan rendah meningkatkan organisiasi sosial, ekonomi dan politiknya
secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah; (5) sistem keluarga bilateral
lebih menonjol daripada sistem unilateral; dan (6) kuatnya seperangkat
nilai-nilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan penumpukan harta kekayaan
dan adanya kemungkinan mobilitas vertical, dan sikap hemat, serta adanya
anggapan bahwa rendahnya status ekonomi sebagai hasil ketidak sanggupan pribadi
atau memang pada dasarnya sudah rendah kedudukannya.
Budaya kemiskinan bukanlah hanya merupakan
adaptasi terhadap seperangkat syarat-syarat obyektif dari masyarakat yang lebih
luas, sekali budaya tersebut sudah tumbuh, ia cendrung melanggengkan dirinya
dari generasi ke generasi melaui pengaruhnya terhadap anak-anak. Budaya
kemiskinan cendrung berkembang bila sistem-sistem ekonomi dan sosial yang
berlapis-lapis rusak atau berganti, seperti masa pergantian feodalis ke
kapitalis atau pada masa pesatnya perubahan teknologi. Budaya kemiskinan juga
merupakan akibat penjajahan yakni struktur ekonomi dan sosial pribumi diobrak,
sedangkan atatus golongan pribumi tetap dipertahankan rendah, juga dapat tumbuh
dalam proses penghapusan suku. Budaya kemiskinan cendrung dimiliki oleh
masyarakat strata sosial yang lebih rendah, masyarakat terasing, dan warga
urban yang berasal dari buruh tani yang tidak memiliki tanah.
Menurut Parker Seymour dan Robert J. Kleiner
(1983) formulasi kebudayaan kemiskinan mencakup pengertian bahwa semua orang
yang terlibat dalam situasi tersebut memiliki aspirasi-aspirasi yang rendah
sebagai salah satu bentuk adaptasi yang realistis. Beberapa ciri kebudyaan
kemiskinan adalah : (1) fatalisme, (2) rendahnya tingkat aspirasi, (3)
rendahnya kemauan mengejar sasaran, (4) kurang melihat kemajuan pribadi , (5)
perasaan ketidak berdayaan/ketidakmampuan, (6) Perasaan untuk selalu gagal, (7)
Perasaan menilai diri sendiri negatif, (8) Pilihan sebagai posisi pekerja
kasar, dan (9) Tingkat kompromis yang menyedihkan. Berkaitan dengan budaya
sebagai fungsi adaptasi, maka suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk mengubah
nilai-nilai yang tidak diinginkan ini menuju ke arah yang sesuai dengan
nilai-nilai golongan kelas menengah, dengan menggunakan metode-metodre
psikiatri kesejahteraan sosial-pendidikan tanpa lebih dahulu (ataupun secara
bersamaan) berusaha untuk secara berarti mengubah kenyataan kenyataan struktur
sosial (pendapatan, pekerjaan, perumahan, dan pola-pola kebudayaan membatasi
lingkup partisipasi sosial dan peyaluran kekuatan sosial) akan cendrung gagal.
Budaya kemiskinan bukannya berasal dari kebodohan, melainkan justru berfungsi
bagi penyesuaian diri.
Hal penting dalam membahas kemiskinan dan
kebudayaan adalah untuk mengetahui seberapa cepat orang-orang miskin akan
mengubah kelakuan mereka, jika mereka mendapat kesempatan-kesempatan baru; dan
macam hambatan atau halangan-halangan yang baik atau buruk yang akan timbul
dari reaksi tersebut terhadap situasi-situasi masa lampau. Untuk menentukan
macam kesempatan-kesempatan yang harus diciptaan untuk menghapus kemiskinan,
yaitu mendorong oang-orang msikin melakukan adapatasi terhadap
kesempatan-kesempatan yang bertentangan dengan pola-pola kebudayaan yang mereka
pegang teguh dan cara mereka dapat mempertahankan pola-pola kebudayaan yang
mereka pegang teguh tersebut agar tidak akan bertentangan dengan
aspirasi-aspirasi lainnya. Hanya orang-orang miskin yang tidak mampu menerima
kesempatan-kesempatan karena mereka tidak dapat membuang norma-norma kelakukan
yang digolongkan sebagai pendukung kebudayaan kelas bawah.
Akibat
kemiskinan tersebut, sebahagian besar penduduk Indonesia menghadapinya dengan
nilai-nilai pasrah atau nrimo (kemiskinan kebudayaan). Terbentuknya pola pikir
dan prilaku pasrah itu dalam jangka waktu yang lama akan berubah menjadi
semacam “institusi permanen” yang mengatur prilaku mereka dalam menyelesaikan
problematika di dalam hidup mereka atau krisis lingkungan mereka sendiri
(Lewis, 1968 dalam Haba, 2001). Menurut penganut paradigma kemiskinan
kebudayaan ini, orang yang berada dalam kondisi serupa tidak sanggup melihat
peluang dan jalan keluar untuk memperbaiki kehidupannya. Karakteristik kelompok
ini terlihat dari pola substensi mereka yang berorientasi dari tangan ke mulut
(from hand to mouth) (Haba, 2001 ).
Definisi kemiskinan menurut para ahli;
- Ginandjar (1993), kemiskinan ditandai oleh pengangguran dan keterbelakangan yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan. Masyarakat miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga makin tertinggal jauh dari masyarakat lain yang memiliki potensi lebih tinggi. Keadaan kemiskinan umumnya diukur dengan tingkat pendapatan dan pada dasarnya dapat dibedakan dalam kemiskinan absolute dan kemiskinan relatif.
- Karlsson (1978), dimensi-dimensi dari kemiskinan absolute adalah makanan, air, perumahan, kesehatan dan pemeliharaannya, pendidikan dan kesempatan kerja, sementara penyebab dari berlanjutnya kemiskinan absolute adalah tidak mencakupinya barang-barang dan jasa yang tersedia atau tidak memadainya pertumbuhan pertumbuhan ekonomi, besarnya jumlah penduduk atau peledakan populasi dan tidak meratanya distribusi sumber-sumber yang ada.
- Jhon Friedmann (1979), kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan social.
- Sar A. Levitan (1980), sabagai kekurangan barang-barang dan jasa-jasa yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak. Karena standar hidup itu berbeda-beda, maka menurut Levitan, tidak ada definisi yang diterima secara universal.
- Bradley R. Schiller (1979), kemiskinan merupakan ketidaksanggupan untuk mendapatkan barang-barang dan jasa-jasa yang memadai guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan social yang terbatas.
- Lewis (1969), kemiskinan adalah ketidaksanggupan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan dan keperluan-keperluan material seseorang.
- Amarta Sen (1989), lebih bersifat absolute karena berkaitan dengan batasan minimum, dan didefinisikan sebagai “The failure to have certain minimum capabilities”.
- Emil Salim (1980), kimiskinan biasanya dilukiskan sabagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
- Bank Dunia (1989), perdebatan akan selalu muncul ketika orang menentukan garis kemiskinan absolute karena batas antara miskin atau tidak, serta cara untuk menghitung dan membandingkan “income” dengan standar kehidupan pada waktu dan tempat tertentu, belum dapat diteriman secara umum.
Kemiskinan Mental
1.
Terdapat dua dimensi kemiskinan yang terus
menerus menghantui bangsa kita, andai tidak ada penyikapan yang tegas dan
cerdas baik oleh pemerintah dan kita sebagai masyarakat selaku objek penderita.
Pertama, kemiskinan mental yang meliputi dimensi moral, etika, akhlak,
dan mental yang kemudian memperlemah daya saing sumber daya manusia Indonesia. Mental inilah yang
sebenarnya faktor dominan dalam melakukan perubahan, yang kian lama justru kian
luruh. Identitas masyarakat Indonesia yang pantang menyerah, menjunjung local
wisdom, benci penindasan atau situasi ‘ketertindasan’, malah berubah
drastis menjadi bangsa yang pasrah (fatalis), ‘banci’ kehilangan jati diri,
jika meminjam istilahnya Syafii Ma’arif antara laku dan kata tidak
pernah sama. Ini yang membedakan Bangsa Indonesia dengan
Bangsa Jepang. Jepang dalam era modern tetap melandaskan kehidupannya pada
kearifan lokal, semangat Kaizen yang merupakan ajaran Shinto
menjadi landasan dalam laku dan langkah. Sedangkan bangsa kita, justru
semakin modern semakin meluruhkan nilai-nilai jatidiri bangsa, bahkan melupakan
titah-titah keraifan lokal yang sebagian besar bersumber dari ajaran agama.
2.
Andai kita analisis, sekuat apapun bangsa ini
memiliki modal dan kekayaan, jika tidak memiliki mental, akhlak dan etika
sampai generasi keberapapun akan tetap miskin, tentunya sudah banyak bukti
karena malas berpikir dan bekerja, semakin hari kekayaan negeri ini mulai dari
hutan, aneka tambang, flora fauna hingga pasir terkeruk semakin tidak bersisa,
yang untung hanyalah cukong, preman-preman parlemen, pejabat pemberi izin, dan
yang terkena dampak bencana mulai dari kemiskinan, kehilangan mata pencaharian,
sember daya alam, dan yang betul-betul ‘disisakan’ hanyalah bencana alam, dan
yang menjadi korban tentunya rakyat jelata.
Kemiskinan
Fisik
1. Kemiskinan fisik, lazim
disebut kemiskinan ekonomi atau struktural. Secara tidak
langsung krisis yang berwajah multidimensi di berbagai bidang kehidupan selama
beberapa tahun belakangan ini semakin menutup jalan keluar bagi kemiskinan.
2. Jika kita runut, ada empat pola kemiskinan; pertama, kemiskinan yang
tergolong persisten poverty, kemiskinan yang berlangsung lama dan turun
temurun, bisa disebut kemiskinan struktural. Kedua, cyclical poverty,
kemiskinan yang mengikuti pola siklus pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Ketiga, seasonal poverty,
kemiskinan musiman seperti sering dijumpai pada kasus-kasus nelayan dan petani
tanaman pangan. Keempat, accidental poverty, kemiskinan yang
diakibatkan oleh terjadinya bencana alam atau dampak dari suatu kebijaksanaan
tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan.
3. Malangnya, keempat pola
kemiskinan tersebut ada dan melanda bangsa kita. Secara turun temurun
masyarakat kita memang miskin, ditambah pertumbuhan ekonomi yang tidak pernah
stabil, belum lagi musim yang kian sukar diprediksi, kapan datangnya hujan,
kapan kemarau, kapan angin barat dan kapan angin timur, betul-betul semakin
menyengsarakan petani dan nelayan kita, karena hari ini menanam padi tak taunya
besok hujan, hari ini diperkirakan bisa melaut karena cuaca cerah, ternyata
siangnya badai. Belum lagi masyarakat kita semakin terguncang
jiwanya karena tiada hari tanpa ancaman bencana.
4. Hal yang paling membuat miris, mengutip Zukhairi Misrawi, selain negeri ini
miskin, ternyata negara turut andil dalam ‘memiskinkan’, terbukti dengan kebijakan-kebijakan
yang tidak memihak pada rakyat, hingga akses untuk mendapat kesejahteraan
sosial yang sebetulnya memang disediakan untuk rakyat seperti Askes Kin, Kartu
Gakin, BOS, BLT, kredit usaha kecil dan sebagainya menjadi kian rumit diakses,
karena aturan administratif yang berbelit-belit, dan birokrasi yang baru
bekerja jika disuap.
5. Amat paradoks dengan tuntutan pemerintah, dimana sejak dulu rakyat
diberikan penyuluhan bagaimana membajak sawah dengan menggunakan traktor, para
nelayan dianjurkan melaut menggunakan perahu bermesin, di sisi lain harga solar
dan bensin dinaikan semena-mena. Mereka yang tinggal di wilayah kumuh di
gusur agar bisa hidup layak dengan dibangunkan rumah susun (Rusun), namun
kenyataannya Rusun hanya bisa diakses oleh mereka yang ekonominya menengah ke
atas, tidak usah heran jika di depan Rusun terparkir mobil-mobil mewah. Jika
kita berpikir ideal, seharusnya semua pemimpin bangsa ini di makzul-kan
(diturunkan dengan hina), karena melanggar amanat konstitusi, tidak memelihara
fakir miskin, anak-anak terlantar, tidak berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, dan justru semakin membuat curam disparitas sosial.
Kemiskinan Struktural
Kemiskinan struktural menurut Selo Sumarjan
(1980) adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena
struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber pendapatan
yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan strukturl adalah suasana
kemiskinan yang dialami oleh suatu masyarakat yang penyebab utamanya bersumber
pada struktur sosial, dan oleh karena itu dapat dicari pada struktur sosial
yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri. Golongan kaum miskin ini terdiri
dari ; (1) Para petani yang tidak memiliki tanah sendiri, (2) Petani yang tanah
miliknya begitu kecil sehingga hasilnya tidak cukup untuk memberi makan kepada
dirinya sendiri dan keluargamnya, (3) Kaum buruh yang tidak terpelajar dan
tidak terlatih (unskilled labourerds), dan (4) Para pengusaha tanpa
modal dan tanpa fasilitas dari pemerintah (golongan ekonomi lemah).
Kemiskinan struktural tidak sekedar terwujud
dengan kekurangan sandang dan pangan saja, kemiskinan juga meliputi kekurangan
fasilitas pemukiman yang sehat, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi
dengan dunia sekitarnya, sosial yang mantap.
Beberapa ciri kemiskinan struktural, menurut
Alpian (1980) adalah (1) Tidak ada atau lambannya mobilitas sosial (yang miskin
akan tetap hidup dengan kemelaratanya dan yang kaya akan tetap menikmati
kemewahannya), (2) mereka terletak dalam kungkungan struktur sosial yang
menyebabkan mereka kekurangan hasrat untuk meningkatkan taraf hidupnya, dan (3)
Struktur sosial yang berlaku telah melahirkan berbagai corak rintangan yang
menghalangi mereka untuk maju. Pemecahan permasalahan kemiskinan akan bisa dilakukan
bilamana struktur sosial yang berlaku itu dirubah secara mendasar.
Soedjatmoko (1984) memberikan contoh kemiskinan
structural; (1) Pola stratifikasi (seperti dasar pemilikan dan penguasaan
tanah) di desa mengurangi atau merusak pola kerukukan dan ikatan timbal-balik
tradisional, (2) Struktur desa nelayan, yang sangat tergantung pada juragan di
desanya sebagai pemilik kapal, dan (3) Golongan pengrajin di kota kecil atau
pedesaan yang tergantung pada orang kota yang menguasai bahan dan pasarnya.
Hal-hal tersebut memiliki implikasi tentang kemiskinan structural : (1)
kebijakan ekonomi saja tidak mencukupi dalam usaha mengatasi
ketimpangan-ketimpangan struktural, dimensi struktural perlu dihadapi juga
terutama di pedesaan; dan (2) perlunya pola organisasi institusi masyarakat
pedesan yang disesuaikan dengan keperluannya, sebaga sarana untuk mengurangi
ketimpangan dan meningkatkan bargaining power, dan perlunya proses Sosial
learning yang spesifik dengan kondisi setempat.
Adam Malik (1980) mengemukakan bahwa untuk
mencari jalan agar struktur masyarakat Indonesia dapat diubah sedemikian rupa
sehingga tidak terdapat lagi di dalamnya kemelaratan structural. Bantuan
yang terpenting bagi golongan masyarakat yang menderita kemiskinan struktural
adalah bantuan agar mereka kemudian mampu membantu dirinya sendiri.
Bagaimanapun kegiatan pembangunan yang berorientasi pertumbuhan maupun
pemerataan tidak dapat mengihilangkan adanya kemiskinan struktural.
Pada hakekatnya perbedaan antara si kaya dengan
si miskin tetap akan ada, dalam sistem sosial ekonomi manapun. Yang lebih
diperlukan adalah bagaimana lebih memperkecil kesenjangan sehingga lebih
mendekati perasaan keadilan sosial. Sudjatmoko (1984) berpendapat bahwa,
pembangunan yang semata-mata mengutamakan pertumbuhan ekonomi akan
melanggengkan ketimpangan struktural. Pola netes ke bawah memungkinkan
berkembangnya perbedaan ekonomi, dan prilaku pola mencari nafkah dari pertanian
ke non pertanian, tetapi proses ini akan lamban dan harus diikuti dengan
pertumbuhan yang tinggi. Kemiskinan tidak dapat diatasi hanya dengan membantu
golongan miskin saja, tanpa menghadapi dimensi-dimensi struktural seperti
ketergntungan, dan eksploitasi. Permasalahannya adalah dimensi-dimensi
struktural manakah yang mempengarhui secara langsung terjadinya kemiskinan,
bagaimana ketepatan dimensi untuk kondisi sosial budaya setempat.
Sinaga dan White (1980) menunjukkan aspek-aspek
kelembagaan dan struktur agraris dalam kaitannya dengan distribusi pendapatan
kemiskinan: (1) penyebaranan teknologi, bahwa bukan teknologi itu sendiri,
tetapi struktur kelembagaan dalam masyarakat tenpat teknologi itu masuk yang
menentukan bahwa teknologi itu mempunyai dampak negatif atau positif terhadap
distribusi pendapatan (2) lembaga perkreditan pedesaan, perkereditan yang
menginginkan tercapainya pemerataan pendapatan, maka program perkreditan
tersebut justru harus diskriminatif, artinya subsidi justru harus diberikan
kepada petani kecil, bukan pemerataan berdasaran pemilikan atau penguasaan
lahannya; (3) kelembagaan yang mengatur distribusi penguasaan atas
faktor-faktor produksi di pedesaan turut menentukan tingkat pendapatan dari
berbagai golongan di masyarakat,karena tidak semata-mata ditentukan oleh
kekuatan faktor ekonomi (interaksi antara penawaran dan permintaan) saja: dan
(4) Struktur penguasaan atas sumber-sumber produksi bukan tenaga kerja
(terutama tanah dan modal) yang lebih merata dapat meningkatkan pendapatan
penduduk yang berada dibawahi garis kemiskinan.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Kemiskinan menurut para Ahli.
Setiap permasalahan timbul pasti karna ada faktor
yang mengiringinya yang menyebabkan timbulnya sebuah permasalahan, begitu juga
dengan masalah kemiskinan yang dihadapi oleh negara indonesia. Beberapa faktor
yang menyebabkan timbulnya kemiskinan menurut Hartomo dan
Aziz dalam Dadan Hudyana (2009:28-29) yaitu :
1). Pendidikan yang Terlampau Rendah
Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan
seseorang kurang mempunyai keterampilan tertentu yang diperlukan dalam
kehidupannya. Keterbatasan pendidikan atau keterampilan yang dimiliki seseorang
menyebabkan keterbatasan kemampuan seseorang untuk masuk dalam dunia kerja.
2). Malas Bekerja
Adanya sikap malas (bersikap pasif atau bersandar
pada nasib) menyebabkan seseorang bersikap acuh tak acuh dan tidak bergairah
untuk bekerja.
3). Keterbatasan Sumber Alam
Suatu masyarakat akan dilanda kemiskinan apabila
sumber alamnya tidak lagi memberikan keuntungan bagi kehidupan mereka. Hal ini
sering dikatakan masyarakat itu miskin karena sumberdaya alamnya miskin.
4). Terbatasnya Lapangan Kerja
Keterbatasan lapangan kerja akan membawa
konsekuensi kemiskinan bagi masyarakat. Secara ideal seseorang harus mampu
menciptakan lapangan kerja baru sedangkan secara faktual hal tersebut sangat
kecil kemungkinanya bagi masyarakat miskin karena keterbatasan modal dan
keterampilan.
5). Keterbatasan Modal
Seseorang miskin sebab mereka tidak mempunyai
modal untuk melengkapi alat maupun bahan dalam rangka menerapkan keterampilan
yang mereka miliki dengan suatu tujuan untuk memperoleh penghasilan.
6). Beban Keluarga
Seseorang yang mempunyai anggota keluarga banyak
apabila tidak diimbangi dengan usaha peningakatan pendapatan akan menimbulkan
kemiskinan karena semakin banyak anggota keluarga akan semakin meningkat
tuntutan atau beban untuk hidup yang harus dipenuhi.
Suryadiningrat dalam Dadan
Hudayana (2009:30), juga mengemukakan bahwa kemiskinan pada hakikatnya
disebabkan oleh kurangnya komitmen manusia terhadap norma dan nilai-nilai
kebenaran ajaran agama, kejujuran dan keadilan. Hal ini mengakibatkan
terjadinya penganiayaan manusia terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain.
Penganiayaan manusia terhadap diri sendiri tercermin dari adanya :
1) keengganan bekerja dan berusaha,
2) kebodohan,
3) motivasi rendah,
4) tidak memiliki rencana jangka panjang,
5) budaya kemiskinan, dan
6) pemahaman keliru terhadap kemiskinan.
Sedangkan penganiayaan terhadap orang lain
terlihat dari ketidakmampuan seseorang bekerja dan berusaha akibat :
1) ketidakpedulian orang mampu kepada orang yang
memerlukan atau orang tidak mampu dan
2) kebijakan yang tidak memihak kepada orang
miskin.
Kartasasmita dalam Rahmawati
(2006:4) mengemukakan bahwa, kondisi kemiskinan dapat disebabkan oleh
sekurang-kurangnya empat penyebab, diantaranya yaitu :
1. Rendahnya Taraf Pendidikan
Taraf pendidikan yang rendah mengakibatkan
kemampuan pengembangan diri terbatas dan meyebabkan sempitnya lapangan kerja
yang dapat dimasuki. Taraf pendidikan yang rendah juga membatasi kemampuan
seseorang untuk mencari dan memanfaatkan peluang.
2. Rendahnya Derajat Kesehatan
Taraf kesehatan dan gizi yang rendah menyebabkan
rendahnya daya tahan fisik, daya pikir dan prakarsa.
3. Terbatasnya Lapangan Kerja
Selain kondisi kemiskinan dan kesehatan yang
rendah, kemiskinan juga diperberat oleh terbatasnya lapangan pekerjaan. Selama
ada lapangan kerja atau kegiatan usaha, selama itu pula ada harapan untuk
memutuskan lingkaran kemiskinan.
4. Kondisi Keterisolasian
Banyak penduduk miskin secara ekonomi tidak
berdaya karena terpencil dan terisolasi. Mereka hidup terpencil sehingga sulit
atau tidak dapat terjangkau oleh pelayanan pendidikan, kesehatan dan gerak
kemajuan yang dinikmati masyarakat lainnya.
Nasikun dalam Suryawati
(2005:5) menyoroti beberapa sumber dan proses penyebab terjadinya kemiskinan,
yaitu :
1) Pelestarian Proses Kemiskinan Proses
pemiskinan yang dilestarikan, direproduksi melalui pelaksanaan suatu kebijakan
diantaranya adalah kebijakan anti kemiskinan, tetapi realitanya justru
melestarikan.
2) Pola Produksi Kolonial
Negara ekskoloni mengalami kemiskinan karena pola
produksi kolonial, yaitu petani menjadi marjinal karena tanah yang paling subur
dikuasai petani skala besar dan berorientasi ekspor.
3) Manajemen Sumber Daya Alam
dan Lingkungan
Adanya unsur manajemen sumber daya alam dan
lingkungan, seperti manajemen pertanian yang asal tebang akan menurunkan
produktivitas.
4) Kemiskinan Terjadi Karena
Siklus Alam.
Misalnya tinggal di lahan kritis, dimana lahan
ini jika turun hujan akan terjadi banjir tetapi jika musim kemarau akan
kekurangan air, sehingga tidak memungkinkan produktivitas yang maksimal dan
terus-menerus.
5) Peminggiran Kaum Perempuan
Dalam hal ini perempuan masih dianggap sebagai
golongan kelas kedua, sehingga akses dan penghargaan hasil kerja yang diberikan
lebih rendah dari laki-laki.
6) Faktor Budaya dan Etnik
Bekerjanya faktor budaya dan etnik yang
memelihara kemiskinan seperti, pola hidup konsumtif pada petani dan nelayan
ketika panen raya, serta adat istiadat yang konsumtif saat upacara adat atau
keagamaan.
Penanggulangan Kemiskinan
Untuk mengatasi masalah kemiskinan, pemerintah
memiliki peran yang besar. Namun nyatanya program yang dijalankan oleh
pemerintah belum mampu menyentuh pokok yang menimbulkan masalah kemiskinan.
Beberapa program pemerintah yang sudah dijalankan untuk mengatasi masalah
kemiskinan diantaranya adalah program Bantuan Langsung Tunai serta bantuan
dibidang kesehatan yaitu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Namun kedua
hal tersebut tidak memiliki dampak signifikan terhadap pengurangan angka
kemiskinan, bahkan beberapa pakar kebijakan Negara menganggap bahwa hal
tersebut sudah seharusnya dilakukan pemerintah. Untuk itu pemerintah perlu
membuat ketegasan dan kebijakan dalam rangka menyelesaikan masalah
kemiskinan ini. Diantaranya yaitu :
- Menciptakan lapangan kerja yang mampu menyerap banyak tenaga kerja sehingga mengurangi pengangguran, karena pengangguran adalah salah satu sumber penyebab kemiskinan terbesar di Indonesia.
- Memberikan subsidi pada kebutuhan pokok manusia sehingga setiap masyarakat bisa menikmati makanan yang berkualitas, hal ini akan berdampak pada meningkatnya angka kesehatan masyarakat.
- Menghapuskan korupsi, sebab korupsi adalah salah satu penyebab layanan masyarakat tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal inilah yang kemudian menjadikan masyarakat tidak bisa menikmati hak mereka sebagai warga Negara sebagaimana mestinya.
DEFINISI KEWIRAUSAHAAN
Kewirausahaan adalah proses menciptakan sesuatu
nilai yang berbeda dengan mencurahkan waktu dan upaya yang diperlukan, memikul
risiko-risiko finansial, psikis dan sosial yang menyertai, serta menerima
penghargaan /imbalan moneter dan kepuasan pribadi.
Menurut Para Ahli :
Menurut Para Ahli :
Peter F Drucker
Kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (ability to create the new and different) .
Kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (ability to create the new and different) .
Thomas W Zimmerer
Kewirausahaan adalah penerapan kreativitas dan keinovasian untuk memecahkan permasalahan dan upaya memanfaatkan peluang-peluang yang dihadapi orang setiap hari.
Andrew J Dubrin
Seseorang yang mendirikan dan menjalankan sebuah usaha yang inovatif (Entrepreneurship is a person who founds and operates an innovative business).
Robbin & Coulter
Entrepreneurship is the process whereby an individual or a group of individuals uses organized efforts and means to pursue opportunities to create value and grow by fulfilling wants and need through innovation and uniqueness, no matter what resources are currently controlled.
Seseorang yang mendirikan dan menjalankan sebuah usaha yang inovatif (Entrepreneurship is a person who founds and operates an innovative business).
Robbin & Coulter
Entrepreneurship is the process whereby an individual or a group of individuals uses organized efforts and means to pursue opportunities to create value and grow by fulfilling wants and need through innovation and uniqueness, no matter what resources are currently controlled.
Dari definisi tentang Entrepreneurship diatas
terdapat 3 tema penting yang dapat di identifikasi:
1. the pursue of opportunities ,
2. innovation,
3. growth.
Penjelasannya :
Penjelasannya :
1. pursuit of opportunities , (entrepreneurship adalah berkenaan dengan mengejar kecenderungan dan
perubahan-perubahan lingkungan yang orang lain tidak melihat dan
memperhatikannya).
2. innovation,
(entrepreneurship mencakup perubahan perombakan, pergantian bentuk, dan
memperkenalkan pendekatan-pendekatan baru…. Yaitu produk baru atau cara baru
dalam melakukan bisnis).
3. growth (Pasca
entrepreneur mengejar pertumbuhan, mereka tidak puas dengan tetap kecil atau
tetap dengan ukuran yang sama. Entrepreneur menginginkan bisnisnya tumbuh dan
bekerja keras untuk meraih pertumbuhan sambil secara berkelanjutan
mencari kecenderungan dan terus melakukan innovasi produk dan pendekatan baru .
Definisi Kewirausahaan menurut David E. Rye
(1996: 6) adalah suatu pengetahuan terapan dari konsep dan teknik manajemen
yang disertai risiko dalam merubah atau memproses sumberdaya menjadi output
yang bernilai tambah tinggi (value edded). Perubahan ini dilakukan
melalui menciptaan diferensiasi, standarisasi, proses dan alat desain dalam
menciptakan pasar dan pelanggan baru.
Selain itu, definisi Kewirausahaan menurut
Instruksi Presiden Republik Indonesia (INPRES) No. 4 Tahun 1995 tentang Gerakan
Nasional Me-masyarakat-kan dan Mem-budaya-kan Kewirausahaan adalah semangat,
sikap, prilaku dan kemampuan seseorang dalam menangani usaha dan/atau kegiatan
yang mengarah pada upaya mencari menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi
dan produk baru dengan meningkatkan efesiensi dalam rangka memberikan pelayanan
yang lebih baik dan/atau memperoleh keuntungan yang lebih besar.
Dengan demikian, tentunya kita mengharapkan
motivasi kewirausahaan dapat membudaya dan menjadi salah satu konsep
perekonomian nasional. Sesungguhnya, kewirausahaan memiliki potensi untuk itu.
Potensi tersebut ditandai oleh beberapa keunggulan komparatif (comparative
advantages) dibandingkan dengan konglomerasi. Di masa mendatang, para
wirausahawan dituntut untuk mampu mentransformasikan keunggulan kompetitif
nasional.
Adapun keunggulan komparatif tersebut adalah:
1. Entrepreneur memiliki
legitimasi moral yang kuat untuk mewujudkan kesejahteraan dan menciptakan
kesempatan kerja. Karena target entrepreneur adalah masyarakat kelas menengah
dan bawah, maka entrepreneur memiliki peran penting dalam proses trickling
down effect.
2. Seorang entrepreneur
memiliki visi bisnis, intuisi pengelolaan sumber daya, adaptable terhadap
perubahan lingkungan dan kemampuan untuk berkerja sama secara integral.
3. Pengembangan kewirausahaan mendapat dukungan penuh dari banyak
pihak, termasuk cendikiawan dan decision maker dalam pembangunan.
Keberadaan Inpres No. 4 Tahun 1995 tentang gerakan nasional memasyarakatkan dan
membudayakan kewirausahaan, mencerminkan perhatian yang besar terhadap
pengembangan kewirausahaan.
Sangat mendesak untuk mengoptimalkan keunggulan
komparatif tersebut sehingga menjadi “senjata” untuk meraih keunggulan
kompetitif. Jangan sampai keunggulan komparatif tersebut justru menjadi
bumerang. Kewirausahaan memiliki proses yang saling terintegrasi satu
dengan lainnya, meliputi seluruh fungsi, aktivitas, dan tindakan yang
berhubungan dengan perolehan peluang dan penciptakan organisasi untuk
merealisasikannya. Proses membentuk faktor-faktor tak-samaan yang saling
terkait yang membentuk domain wirausahawan.
Hakikat dan Konsep Dasar Kewirausahaan
Kita tentu sering mendengar tentang kata “Wirausaha”, “Kewirausahaan”
maupun “Wirausahawan” Apakah yang dimaksud dengan “Wirausaha”, “Kewirausahaan”
maupun “Wirausahawan” tersebut? Dan apakah beda ketiga kata tersebut? Wirausaha
adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat dan menilai
kesempatan-kesempatan bisnis; mengumpulkan sumber daya-sumber daya yang
dibutuhkan untuk mengambil tindakan yang tepat dan mengambil keuntungan dalam
rangka meraih sukses.
Kewirausahaan pada hakekatnya adalah sifat, ciri dan watak seseorang yang
memiliki kemauan dalam mewujudkan gagasan inovatif ke dalam dunia nyata secara
kreatif. Sedangkan yang dimaksudkan dengan seorang Wirausahawan adalah
orang-orang yang memiliki kemampuan melihat dan menilai kesempatankesempatan
bisnis; mengumpulkan sumber daya-sumber daya yang dibutuhkan untuk mengambil
tindakan yang tepat, mengambil keuntungan serta memiliki sifat, watak dan
kemauan untuk mewujudkan gagasan inovatif kedalam dunia nyata secara kreatif
dalam rangka meraih sukses/meningkatkan pendapatan.
Intinya, seorang Wirausahawan adalah orang-orang yang memiliki jiwa
Wirausaha dan mengaplikasikan hakekat Kewirausahaan dalam hidupnya.
Orang-orang yang memiliki kreativitas dan inovasi yang tinggi dalam hidupnya. Secara epistimologis, sebenarnya kewirausahaan hakikatnya adalah suatu kemampuan dalam berpikir kreatif dan berperilaku inovatif yang dijadikan dasar, sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat dan kiat dalam menghadapi tantangan hidup. Seorang wirausahawan tidak hanya dapat berencana, berkata-kata tetapi juga berbuat, merealisasikan rencana-rencana dalam pikirannya ke dalam suatu tindakan yang berorientasi pada sukses. Maka dibutuhkan kreatifitas, yaitu pola pikir tentang sesuatu yang baru, serta inovasi, yaitu tindakan dalam melakukan sesuatu yang baru.
Orang-orang yang memiliki kreativitas dan inovasi yang tinggi dalam hidupnya. Secara epistimologis, sebenarnya kewirausahaan hakikatnya adalah suatu kemampuan dalam berpikir kreatif dan berperilaku inovatif yang dijadikan dasar, sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat dan kiat dalam menghadapi tantangan hidup. Seorang wirausahawan tidak hanya dapat berencana, berkata-kata tetapi juga berbuat, merealisasikan rencana-rencana dalam pikirannya ke dalam suatu tindakan yang berorientasi pada sukses. Maka dibutuhkan kreatifitas, yaitu pola pikir tentang sesuatu yang baru, serta inovasi, yaitu tindakan dalam melakukan sesuatu yang baru.
Beberapa konsep kewirausahaan seolah identik dengan kemampuan para
wirausahawan dalam dunia usaha (business). Padahal, dalam kenyataannya,
kewirausahaan tidak selalu identik dengan watak/ciri wirausahawan semata,
karena sifat-sifat wirausahawan pun dimiliki oleh seorang yang bukan
wirausahawan. Wirausaha mencakup semua aspek pekerjaan, baik karyawan swasta
maupun pemerintahan (Soeparman Soemahamidjaja, 1980).
Wirausahawan adalah mereka yang melakukan upaya-upaya kreatif dan inovatif
dengan jalan mengembangkan ide, dan meramu sumber daya untuk menemukan peluang (opportunity)
dan perbaikan (preparation) hidup (Prawirokusumo, 1997) Kewirausahaan (entrepreneurship)
muncul apabila seseorang individu berani mengembangkan usaha-usaha dan ide-ide
barunya. Proses kewirausahaan meliputi semua fungsi, aktivitas dan tindakan
yang berhubungan dengan perolehan peluang dan penciptaan organisasi usaha
(Suryana, 2001).
Esensi dari kewirausahaan adalah menciptakan nilai tambah di pasar melalui
proses pengkombinasian sumber daya dengan cara-cara baru dan berbeda agar dapat
bersaing. Menurut Zimmerer (1996:51), nilai tambah tersebut dapat diciptakan
melalui cara-cara sebagai berikut:
· Pengembangan teknologi baru (developing new
technology)
· Penemuan pengetahuan baru (discovering new
knowledge)
· Perbaikan produk (barang dan jasa) yang sudah ada
(improving existing products or services)
· Penemuan cara-cara yang berbeda untuk
menghasilkan barang dan jasa yang lebih banyak dengan sumber daya yang lebih
sedikit (finding different ways of providing more goods and services with
fewer resources)
Walaupun di antara para ahli ada yang lebih menekankan kewirausahaan pada
peran pengusaha kecil, namun sifat inipun sebenarnya dimiliki oleh orang-orang
yang berprofesi di luar wirausahawan. Jiwa kewirausahaan ada pada setiap orang
yang menyukai perubahan, pembaharuan, kemajuan dan tantangan, apapun profesinya.
Dengan demikian, ada enam hakekat pentingnya Kewirausahaan, yaitu:
Kewirausahaan adalah suatu nilai yang diwujudkan dalam perilaku yang dijadikan
sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat, kiat, proses dan hasil bisnis
(Ahmad Sanusi, 1994)
· Kewirausahaan adalah suatu nilai yang dibutuhkan
untuk memulai sebuah usaha dan mengembangkan usaha (Soeharto Prawiro, 1997)
· Kewirausahaan adalah suatu proses dalam
mengerjakan sesuatu yang baru (kreatif) dan berbeda (inovatif) yang bermanfaat
dalam memberikan nilai lebih.
· Kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan
sesuatu yang baru dan berbeda (Drucker, 1959)
· Kewirausahaan adalah suatu proses penerapan
kreatifitas dan keinovasian dalam memecahkan persoalan dan menemukan peluang
untuk memperbaiki kehidupan usaha (Zimmerer, 1996)
Kewirausahaan adalah usaha menciptakan nilai tambah dengan jalan
mengkombinasikan sumber-sumber melalui cara-cara baru dan berbeda untuk
memenangkan persaingan.
Kewirausahaan pertama kali muncul pada abad 18 diawali dengan penemuan-penemuan
baru seperti mesin uap, mesin pemintal, dll. Tujuan utama mereka adalah
pertumbuhan dan perluasan organisasi melalui inovasi dan kreativitas.
Keuntungan dan kekayaan bukan tujuan utama.
Secara sederhana arti wirausahawan (entrepreneur) adalah orang yang
berjiwa berani mengambil resiko untuk membuka usaha dalam berbagai kesempatan
Berjiwa berani mengambil resiko artinya bermental mandiri dan berani memulai
usaha, tanpa diliputi rasa takut atau cemas sekalipun dalam kondisi tidak
pasti. (Kasmir, 2007 : 18)
Pengertian kewirausahaan relatif berbeda-beda antar para ahli/sumber acuan
dengan titik berat perhatian atau penekanan yang berbeda-beda, diantaranya
adalah penciptaan organisasi baru (Gartner, 1988), menjalankan kombinasi
(kegiatan) yang baru (Schumpeter, 1934), ekplorasi berbagai peluang (Kirzner,
1973), menghadapi ketidakpastian (Knight, 1921), dan mendapatkan secara bersama
faktor-faktor produksi (Say, 1803). Beberapa definisi tentang kewirausahaan
tersebut diantaranya adalah sebagai berikut ini.
1. Richard
Cantillon (1775)
Kewirausahaan
didefinisikan sebagai bekerja sendiri (self-employment). Seorang wirausahawan
membeli barang saat ini pada harga tertentu dan menjualnya pada masa yang akan
datang dengan harga tidak menentu. Jadi definisi ini lebih menekankan pada
bagaimana seseorang menghadapi resiko atau ketidakpastian.
2. Jean Baptista
Say (1816)
Seorang
wirausahawan adalah agen yang menyatukan berbagai alat-alat produksi dan
menemukan nilai dari produksinya.
3. Frank Knight
(1921)
Wirausahawan
mencoba untuk memprediksi dan menyikapi perubahan pasar. Definisi ini
menekankan pada peranan wirausahawan dalam menghadapi ketidakpastian pada
dinamika pasar. Seorang worausahawan disyaratkan untuk melaksanakan
fungsi-fungsi manajerial mendasar seperti pengarahan dan pengawasan.
4. Joseph
Schumpeter (1934)
Wirausahawan
adalah seorang inovator yang mengimplementasikan perubahan-perubahan di dalam
pasar melalui kombinasi-kombinasi baru. Kombinasi baru tersebut bisa dalam
bentuk (1) memperkenalkan produk baru atau dengan kualitas baru, (2)
memperkenalkan metoda produksi baru, (3) membuka pasar yang baru (new market),
(4) Memperoleh sumber pasokan baru dari bahan atau komponen baru, atau (5)
menjalankan organisasi baru pada suatu industri. Schumpeter mengkaitkan
wirausaha dengan konsep inovasi yang diterapkan dalam konteks bisnis serta
mengkaitkannya dengan kombinasi sumber daya.
5. Penrose (1963)
Kegiatan
kewirausahaan mencakup indentifikasi peluang-peluang di dalam sistem ekonomi.
Kapasitas atau kemampuan manajerial berbeda dengan kapasitas kewirausahaan.
6. Harvey
Leibenstein (1968, 1979)
Kewirausahaan
mencakup kegiatan-kegiatann yang dibutuhkan untuk menciptakan atau melaksanakan
perusahaan pada saat semua pasar belum terbentuk atau belum teridentifikasi
dengan jelas, atau komponen fungsi produksinya belum diketahui sepenuhnya.
7. Israel Kirzner
(1979)
Wirausahawan
mengenali dan bertindak terhadap peluang pasar. Entrepreneurship Center at
Miami University of Ohio Kewirausahaan sebagai proses mengidentifikasi,
mengembangkaan, dan membawa visi ke dalam kehidupan. Visi tersebut bisa berupa
ide inovatif, peluang, cara yang lebih baik dalam menjalankan sesuatu. Hasila
akhir dari proses tersebut adalah penciptaan usaha baru yang dibentuk pada
kondisi resiko atau ketidakpastian.
8. Peter F.
Drucker
Kewirausahaan
merupakan kemampuan dalam menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda. Pengertian
ini mengandung maksud bahwa seorang wirausahan adalah orang yang memiliki
kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru, berbeda dari yang lain. Atau
mampu menciptakan sesuatu yang berbeda dengan yang sudah ada sebelumnya.
9. Zimmerer
Kewirausahaan
sebagai suatu proses penerapan kreativitas dan inovasi dalam memecahkan
persoalan dan menemukan peluang untuk memperbaiki kehidupan (usaha).
Salah satu kesimpulan yang bisa ditarik dari berbagai pengertian tersebut
adalah bahwa kewirausahaan dipandang sebagai fungsi yang mencakup eksploitasi
peluang-peluang yang muncul di pasar. Eksploitasi tersebut sebagian besar
berhubungan dengan pengarahan dan atau kombinasi input yang produktif. Seorang
wirausahawan selalu diharuskan menghadapi resiko atau peluang yang muncul,
serta sering dikaitkan dengan tindakan yang kreatif dan innovatif. Wirausahawan
adalah orang yang merubah nilai sumber daya, tenaga kerja, bahan dan faktor
produksi lainnya menjadi lebih besar daripada sebelumnya dan juga orang yang
melakukan perubahan, inovasi dan cara-cara baru.
Selain itu, seorang wirausahawan menjalankan peranan manajerial dalam
kegiatannya, tetapi manajemen rutin pada operasi yang sedang berjalan tidak
digolongkan sebagai kewirausahaan. Seorang individu mungkin menunjukkan fungsi
kewirausahaan ketika membentuk sebuah organisasi, tetapi selanjutnya
menjalankan fungsi manajerial tanpa menjalankan fungsi kewirausahaannya. Jadi
kewirausahaan bisa bersifat sementara atau kondisional.
Kesimpulan lain dari kewirausahaan adalah proses penciptaan sesuatu yang
berbeda nilainya dengan menggunakan usaha dan waktu yang diperlukan, memikul
resiko finansial, psikologi dan sosial yang menyertainya, serta menerima balas
jasa moneter dan kepuasan pribadi. Istilah wirausaha muncul kemudian setelah
dan sebagai padanan wiraswasta yang sejak awal sebagian orang masih kurang sreg
dengan kata swasta. Persepsi tentang wirausaha sama dengan wiraswasta sebagai
padanan entrepreneur. Perbedaannya adalah pada penekanan pada kemandirian
(swasta) pada wiraswasta dan pada usaha (bisnis) pada wirausaha. Istilah
wirausaha kini makin banyak digunakan orang terutama karena memang penekanan
pada segi bisnisnya. Walaupun demikian mengingat tantangan yang dihadapi oleh
generasi muda pada saat ini banyak pada bidang lapangan kerja, maka pendidikan
wiraswasta mengarah untuk survival dan kemandirian seharusnya lebih
ditonjolkan.
Sedikit perbedaan persepsi wirausaha dan wiraswasta harus dipahami,
terutama oleh para pengajar agar arah dan tujuan pendidikan yang diberikan
tidak salah. Jika yang diharapkan dari pendidikan yang diberikan adalah sosok
atau individu yang lebih bermental baja atau dengan kata lain lebih memiliki
kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasarn advirsity (AQ) yang berperan untuk
hidup (menghadapi tantangan hidup dan kehidupan) maka pendidikan wiraswasta
yang lebih tepat. Sebaliknya jika arah dan tujuan pendidikan adalah untuk
menghasilkan sosok individu yang lebih lihai dalam bisnis atau uang, atau agar
lebih memiliki kecerdasan finansial (FQ) maka yang lebih tepat adalah
pendidikan wirausaha. Karena kedua aspek itu sama pentingnya, maka pendidikan
yang diberikan sekarang lebih cenderung kedua aspek itu dengan menggunakan kata
wirausaha. Persepsi wirausaha kini mencakup baik aspek finansial maupun
personal, sosial, dan profesional (Soesarsono, 2002 : 48)
B. Ciri dan Watak Wirausaha
Ciri-ciri dan watak kewirausahaan dapat dilihat pada tabel di bawah
sebagaiberikut ini.
Dalam konteks bisnis, seorang entrepreneur membuka usaha baru (new
ventures) yang menyebabkan munculnya produk baru arau ide tentang
penyelenggaraan jasa-jasa. Karakteristik tipikal entrepreneur (Schermerhorn Jr,
1999) yaitu:
1. Lokus
pengendalian internal
2. Tingkat energi
tinggi
3. Kebutuhan
tinggi akan prestasi
4. Toleransi
terhadap ambiguitas
5. Kepercayaan
diri
6. Berorientasi
pada action
Karakteristik Wirausahawan (Masykur W) dapat dituliskan seperti di bawah
ini.
1. Keinginan
untuk berprestasi
2. Keinginan
untuk bertanggung jawab
3. Preferensi
kepada resiko menengah
4. Persepsi
kepada kemungkian berhasil
5. Rangsangan
untuk umpan balik
6. Aktivitas
Energik
7. Orientasi ke
masa depan
8. Ketrampilan
dalam pengorganisasian
9. Sikap terhadap
uang
Wirausahawan
yang berhasil mempunyai standar prestasi (n Ach) tinggi. Menurut Winardi
Masykur, potensi kewirausahaan tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
1. Kemampuan inovatif
2. Toleransi terhadap kemenduaan (ambiguity)
3. Keinginan untuk berprestasi
4. Kemampuan perencanaan realistis
5. Kepemimpinan berorientasi pada tujuan
6. Obyektivitas
7. Tanggung jawab pribadi
8. Kemampuan beradaptasi (Flexibility)
9. Kemampuan sebagai pengorganisator dan
administrator
10. Tingkat komitmen tinggi (survival)
C. Jenis-jenis Kewirausahaan
Jenis Kewirausahaan (Williamson, 1961) dapat dituliskan sebagai berikut
ini.
1. Innovating
Entrepreneurship
Bereksperimentasi
secara agresif, trampil mempraktekkan transformasi-transformasi atraktif.
2. Imitative
Entrepreneurship
Meniru inovasi
yang berhasil dari para Innovating Entrepreneur.
3. Fabian
Entrepreneurship
Sikap yang
teramat berhati-hati dan sikap skeptikal tetapi yang segera melaksanakan
peniruan-peniruan menjadi jelas sekali, apabila mereka tidak melakukan hal
tersebut, mereka akan kehilangan posisi relatif pada industri yang
bersangkutan.
4. Drone Entrepreneurship
Drone= malas.
Penolakan untuk memanfaatkan peluang-peluang untuk melaksanakan
perubahan-perubahan dalam rumus produksi sekalipun hal tersbut akan
mengakibatkan mereka merugi diandingkan dengan produsen lain.
Di banyak negara berkembang masih terdapat jenis entrepreneurship yang lain
yang disebut sebagai Parasitic Entrepreneurship, dalam konteks ilmu ekonomi
disebut sebagai Rent-seekers (pemburu rente). (Winardi, 1977).
D. Proses Kewirausahaan
a. Tahap-tahap
Kewirausahaan
Secara umum
tahap-tahap melakukan wirausaha:
(1) Tahap memulai,
tahap di mana seseorang yang berniat untuk melakukan usaha mempersiapkan segala
sesuatu yang diperlukan, diawali dengan melihat peluang usaha baru yang mungkin
apakah membuka usaha baru, melakukan akuisisi, atau melakukan franchising. Juga
memilih jenis usaha yang akan dilakukan apakah di bidang pertanian, industri /
manufaktur / produksi atau jasa.
(2) Tahap
melaksanakan usaha atau diringkas dengan tahap "jalan", tahap ini
seorang wirausahawan mengelola berbagai aspek yang terkait dengan usahanya,
mencakup aspek-aspek : pembiayaan, SDM, kepemilikan, organisasi, kepemimpinan
yang meliputi bagaimana mengambil resiko dan mengambil keputusan, pemasaran,
dan melakukan evaluasi.
(3) Mempertahankan
usaha, tahap di mana wirausahawan berdasarkan hasil yang telah dicapai
melakukan analisis perkembangan yang dicapai untuk ditindaklanjuti sesuai
dengan kondisi yang dihadapi.
(4) Mengembangkan
usaha, tahap di mana jika hasil yang diperoleh tergolong positif atau mengalami
perkembangan atau dapat bertahan maka perluasan usaha menjadi salah satu
pilihan yang mungkin diambil.
Menurut Carol Noore yang dikutip oleh Bygrave (1996:3), proses
kewirausahaan diawali dengan adanya inovasi. Inovasi tersebut dipengeruhi oleh
berbagai faktor baik yang berasal dari pribadi maupun di luar pribadi, seperti
pendidikan, sosiologi, organisasi, kebudayaan dan lingkungan. Faktor-faktor tersebut
membentuk locus of control, kreativitas, keinovasian, implementasi, dan
pertumbuhan yang kemudian berkembangan menjadi wirausaha yang besar. Secara
internal, keinovasian dipengaruhi oleh faktor yang bersal dari individu,
seperti locus of control, toleransi, nilai-nilai, pendidikan, pengalaman.
Sedangkan faktor yang berasal dari lingkungan yang mempengaruhi diantaranya
model peran, aktivitas, dan peluang. Oleh karena itu, inovasi berkembangan
menajdi kewirausahaan melalui proses yang dipengrauhi lingkungan, organisasi
dan keluarga (Suryana, 2001 : 34).
Secara ringkas, model proses kewirausahaan mencakup tahap-tahap berikut
(Alma, 2007:10-12) :
1. proses
inovasi
2. proses
pemicu
3. proses
pelaksanaan
4. proses
pertumbuhan
Berdasarkan analisis pustaka terkait kewirausahaan, diketahui bahwa
aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam melakukan wirausaha adalah:
a. mencari
peluang usaha baru: lama usaha dilakukan, dan jenis usaha yang pernah
dilakukan,
b. pembiayaan:
pendanaan-jumlah dan sumber-sumber dana,
c. SDM: tenaga
kerja yang dipergunakan,
d. kepemilikan:
peran-peran dalam pelaksanaan usaha,
e. organisasi:
pembagian kerja diantara tenaga kerja yang dimiliki,
f. kepemimpinan:
kejujuran, agama, tujuan jangka panjang, proses manajerial (POAC), dan
g. Pemasaran:
lokasi dan tempat usaha.
E. Faktor-faktor Motivasi Berwirausaha
Ciri-ciri
wirausaha yang berhasil (Kasmir) yaitu sebagai berikut ini.
a. Memiliki visi
dan tujuan yang jelas. Hal ini berfungsi untuk menebak ke mana langkah dan arah
yang dituju sehingga dapat diketahui langkah yang harus dilakukan oleh
pengusaha tersebut,
b. Inisiatif dan
selalu proaktif. Ini merupakan ciri mendasar di mana pengusaha tidak hanya
menunggu sesuatu terjadi, tetapi terlebih dahulu memulai dan mencari peluang
sebagai pelopor dalam berbagai kegiatan.
c. Berorientasi
pada prestasi. Pengusaha yang sukses selalu mengejar prestasi yang lebih baik
daripada prestasi sebelumnya. Mutu produk, pelayanan yang diberikan, serta
kepuasan pelanggan menjadi perhatian utama. Setiap waktu segala aktifitas usaha
yang dijalankan selalu dievaluasi dan harus lebih baik dibanding sebelumnya.
d. Berani
mengambil risiko. Hal ini merupakan sifat yang harus dimiliki seorang pengusaha
kapanpun dan dimanapun, baik dalam bentuk uang maupun waktu.
e. Kerja keras.
Jam kerja pengusaha tidak terbatas pada waktu, di mana ada peluang di situ dia
datang. Kadang-kadang seorang pengusaha sulit untuk mengatur waktu kerjanya.
Benaknya selalu memikirkan kemajuan usahanya. Ide-ide baru selalu mendorongnya
untuk bekerja kerjas merealisasikannya. Tidak ada kata sulit dan tidak ada
masalah yang tidak dapat diselesaikan.
f. Bertanggungjawab
terhadap segala aktifitas yang dijalankannya, baik sekarang maupun yang akan
datang. Tanggungjawab seorang pengusaha tidak hanya pada segi material, tetapi
juga moral kepada berbagai pihak.
g. Komitmen pada
berbagai pihak merupakan ciri yang harus dipegang teguh dan harus ditepati.
Komitmen untuk melakukan sesuatu memang merupakan kewajiban untuk segera
ditepati dana direalisasikan.
h. Mengembangkan
dan memelihara hubungan baik dengan berbagai pihak, baik yang berhubungan
langsung dengan usaha yang dijalankan maupun tidak. Hubungan baik yang perlu
dlijalankan, antara lain kepada : para pelanggan, pemerintah, pemasok, serta
masyarakat luas.
Dari analisis pengalaman di lapangan, ciri-ciri wirausaha yang pokok untuk
dapat berhasil dapat dirangkum dalam tiga sikap, yaitu :
a. jujur, dalam
arti berani untuk mengemukakan kondisi sebenarnya dari usaha yang dijalankan,
dan mau melaksanakan kegiatan usahanya sesuai dengan kemampuannya. Hal ini
diperlukan karena dengan sikap tersebut cenderung akan membuat pembeli
mempunyai kepercayaan yang tinggi kepada pengusaha sehingga mau dengan rela
untuk menjadi pelanggan dalam jangka waktu panjang ke depan,
b. mempunyai
tujuan jangka panjang, dalam arti mempunyai gambaran yang jelas mengenai
perkembangan akhir dari usaha yang dilaksanakan. Hal ini untuk dapat memberikan
motivasi yang besar kepada pelaku wirausaha untuk dapat melakukan kerja
walaupun pada saat yang bersamaan hasil yang diharapkan masih juga belum dapat
diperoleh.
c. selalu taat
berdoa, yang merupakan penyerahan diri kepada Tuhan untuk meminta apa yang
diinginkan dan menerima apapun hasil yang diperoleh. Dalam bahasa lain, dapat
dikemukakan bahwa ”manusia yang berusaha, tetapi Tuhan-lah yang menentukan !”
dengan demikian berdoa merupakan salah satu terapi bagi pemeliharaan usaha
untuk mencapai cita-cita.
Kompetensi perlu dimiliki oleh wirausahawan seperti halnya profesi lain
dalam kehidupan, kompetensi ini mendukungnya ke arah kesuksesan. Dan &
Bradstreet business Credit Service (1993 : 1) mengemukakan 10 kompetensi yang
harus dimiliki, yaitu :
1. knowing your business, yaitu
mengetahui usaha apa yang akan dilakukan. Dengan kata lain, seorang
wirausahawan harus mengetahui segala sesuatu yang ada hubungannya dengan usaha
atau bisnis yang akan dilakukan.
2. knowing the basic business management, yaitu mengetahui dasar-dasar pengelolaan bisnis, misalnya cara merancang
usaha, mengorganisasi dan mengenalikan perusahaan, termasuk dapat
memperhitungkan, memprediksi, mengadministrasikan, dan membukukan
kegiatan-kegiatan usaha. Mengetahui manajemen bisnis berarti memahami kiat,
cara, proses dan pengelolaan semua sumberdaya perusahaan secara efektif dan
efisien.
3. having the proper attitude, yaitu memiliki sikap yang sempurna terhadap usaha yang dilakukannya. Dia
harus bersikap seperti pedagang, industriawan, pengusaha, eksekutif yang
sunggung-sungguh dan tidak setengah hati.
4. having adequate capital, yaitu
memiliki modal yang cukup. Modal tidak hanya bentuk materi tetapi juga rohani.
Kepercayaan dan keteguhan hati merupakan modal utama dalam usaha. Oleh karena
itu, harus cukup waktu, cukup uang, cukup tenaga, tempat dan mental.
5. managing finances effectively, yaitu memiliki kemampuan / mengelola keuangan, secara efektif dan
efisien, mencari sumber dana dan menggunakannnya secara tepat, dan mengendalikannya
secara akurat.
6. managing time efficiently, yaitu kemampuan mengatur waktu seefisien mungkin. Mengatur, menghitung,
dan menepati waktu sesuai dengan kebutuhannya.
7. managing people, yaitu
kemampuan merencanakan, mengatur, mengarahkan / memotivasi, dan mengendalikan
orang-orang dalam menjalankan perusahaan.
8. statisfying customer by providing high quality product, yaitu memberi kepuasan kepada pelanggan dengan
cara menyediakan barang dan jasa yang bermutu, bermanfaat dan memuaskan.
9. knowing Hozu to Compete, yaitu mengetahui strategi / cara bersaing. Wirausaha harus dapat
mengungkap kekuatan (strength), kelemahan (weaks), peluang (opportunity), dan
ancaman (threat), dirinya dan pesaing. Dia harus menggunakan analisis SWOT
sebaik terhadap dirinya dan terhadap pesaing.
10. copying with regulation and paper work, yaitu membuat aturan / pedoman yang jelas tersurat, tidak tersirat.
(Triton, 2007 :137 – 139)
Delapan anak
tangga menuju puncak karir berwirausaha (Alma, 106 – 109), terdiri atas :
1. mau kerja
keras (capacity for hard work)
2. bekerjasama
dengan orang lain (getting things done with and through people)
3. penampilan
yang baik (good appearance)
4. yakin (self
confidence)
5. pandai
membuat keputusan (making sound decision)
6. mau
menambah ilmu pengetahuan (college education)
7. ambisi
untuk maju (ambition drive)
8. pandai
berkomunikasi (ability to communicate)
Mengembangkan semangat wirausaha
Untuk mengembangkan semangat wirausaha diperlukan
sikap berani dalam menghadapi kegagalan dan perlu memiliki kreativitas.
1. Memiliki sikap berani menghadapi kegagalan
Dalam
berwirausaha kesuksesan itu bukan karena tidak pernah gagal dalam meraih
impian, tetapi kesuksesan itu karena selalu bangkit dari setiap kegagalan yang
dihadapi, dan selalu bangkit dari setiap kegagalan yang dialami kemudian terus
melanjutkan impiannya.
2. Memiliki kreativitas
Kreativitas
merupakan suatu faktor penting untuk mengatasi kegagalan demi kegagalan yang
berujung pada penciptaan semangat wirausaha yang tinggi.
Inovasi
inovasi adalah proses kreatif dalam melakukan
penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada. Pendukung keberhasilan inovasi
adalah :
- Inovasi harus berorientasi pasar (market oriented),artinya produk/jasa yang ditawarkan dapat dibutuhkan pasar (pembeli) sehingga mampu bersaing dalam penjualan, yang mengacu pada 5 C :
- Competitor (pesaing yang dihadapi)
- Competition (Persaingan), dalam situasi apa persaingan terjadi
- Change of competition (perubahan persaingan), apa penyebab perubahan tersebut
- Change driver (penentu arah perubahan), siapa yang menjadi penentu perubahan
- Customer behavior (perilaku konsumen), bagaimanakah perilaku yang bisa diamati
- Meningkatkan nilai tambah (value added), artinya menjadi pendongkrak pertumbunan penjualan
- Meningkatkan efisiensi dan efektivitas, baik dari sudut waktu maupun biaya
- Harus sejalan dengan misi dan visi usaha, sehingga tidak menyimpang dari pertumbuhan usaha Harus dapat ditingkatkan (continuous improvement), perubahan yang berkelanjutan
PERAN MAHASISWA SECARA UMUM
Mahasiswa merupakan suatu kelompok
dalam masyarakat yang memperoleh statusnya karena ikatan dengan perguruan
tinggi. Mahasiswa juga merupakan calon intelektual atau cendekiawan muda dalam
suatu lapisan masyarakat yang sering kali syarat dengan berbagai predikat. Maka
tak jarang bila seorang mahasiswa menjadi contoh bagi sosial manyarkat karena
dya adalah orang yang terdidik dan rata-rata dari mereka sudah memiliki
pemikiran yang lebih dewasa di bandingkan dengan pelajar yang lain.
Mahasiswa harus menjadi pemimpin bangsa di masa
yang akan datang. oleh sebab itu seorang mahasiswa harus mmpunyai moralitas yg
baik sehingga di masa yg akan datang tak ada lagi yang namanya
penyalah gunakan hak moralitas banngsa seperti sekarang ini.
Mahasiswa harus berani bersuara untuk melakukan
perubahan. Jangan hanya teriak dan bergaya
diplomatis tetapi harus bisa menunjukan bahwa kita semu
berkredibilitas untuk menggantikan mereka yg telah duduk manis di meja
pemerintahan sana.
tidak semua anak kuliah harus disebut mahasiswa terutama mereka yg selalu memamerkan kekayaan orang tuanya, apa mereka tidak berfikir mereka itu punya apa, kasian orang tua yang banting tulang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Jngan ditambah bebannya karena mempunyai anak yang kuliah harus mewah. Mereka yang seperti itu bisa membunuh keinginan dan niat orang tua yang laen bila akan menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih baik.
tidak semua anak kuliah harus disebut mahasiswa terutama mereka yg selalu memamerkan kekayaan orang tuanya, apa mereka tidak berfikir mereka itu punya apa, kasian orang tua yang banting tulang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Jngan ditambah bebannya karena mempunyai anak yang kuliah harus mewah. Mereka yang seperti itu bisa membunuh keinginan dan niat orang tua yang laen bila akan menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih baik.
Mahasiswa selalu menjadi bagian dari perjalanan sebuah
bangsa. Roda sejarah demokrasi selalu menyertakan mahasiswa sebagai pelopor,
penggerak, bahkan sebagai pengambil keputusan. Hal tersebut telah terjadi di
berbagai negara di dunia, baik di Timur maupun di Barat.
Pemikiran kritis, demokratis, dan konstruktif selalu lahir dari pola pikir para mahasiswa. Suara-suara mahasiswa kerap kali merepresentasikan dan mengangkat realita sosial yang terjadi di masyarakat. Sikap idealisme mendorong mahasiswa untuk memperjuangkan sebuah aspirasi pada penguasa, dengan cara mereka sendiri.
Dalam hal ini, secara umum mahasiswa menyandang tiga fungsi strategis, yaitu :
1. sebagai penyampai kebenaran (agent of social control)
2. sebagai agen perubahan (agent of change)
3. sebagai generasi penerus masa depan (iron stock)
Mahasiswa dituntut untuk berperan lebih, tidak hanya bertanggung jawab sebagai kaum akademis, tetapi diluar itu wajib memikirkan dan mengembang tujuan bangsa. Dalam hal ini keterpaduan nilai-nilai moralitas dan intelektualitas sangat diperlukan demi berjalannya peran mahasiswa dalam dunia kampusnya untuk dapat menciptakan sebuah kondisi kehidupan kampus yang harmonis serta juga kehidupan diluar kampus.
Pemikiran kritis, demokratis, dan konstruktif selalu lahir dari pola pikir para mahasiswa. Suara-suara mahasiswa kerap kali merepresentasikan dan mengangkat realita sosial yang terjadi di masyarakat. Sikap idealisme mendorong mahasiswa untuk memperjuangkan sebuah aspirasi pada penguasa, dengan cara mereka sendiri.
Dalam hal ini, secara umum mahasiswa menyandang tiga fungsi strategis, yaitu :
1. sebagai penyampai kebenaran (agent of social control)
2. sebagai agen perubahan (agent of change)
3. sebagai generasi penerus masa depan (iron stock)
Mahasiswa dituntut untuk berperan lebih, tidak hanya bertanggung jawab sebagai kaum akademis, tetapi diluar itu wajib memikirkan dan mengembang tujuan bangsa. Dalam hal ini keterpaduan nilai-nilai moralitas dan intelektualitas sangat diperlukan demi berjalannya peran mahasiswa dalam dunia kampusnya untuk dapat menciptakan sebuah kondisi kehidupan kampus yang harmonis serta juga kehidupan diluar kampus.
Peran dan fungsi mahasiswa dapat ditunjukkan :a. Secara santun tanpa mengurangi esensi dan agenda yang diperjuangkan.
b. Semangat mengawal dan mengawasi jalannya reformasi, harus tetap tertanam dalam jiwa setiap mahasiswa.
c. Sikap kritis harus tetap ada dalam diri mahasiswa, sebagai agen pengendali untuk mencegah berbagai penyelewengan yang terjadi terhadap perubahan yang telah mereka perjuangkan.
Dengan begitu, mahasiswa tetap menebarkan bau harum keadilan sosial dan solidaritas kerakyatan.
Ada empat faktor pendorong bagi peningkatan peranan mahasiswa dalam kehidupan politik maupun sosial.
1. Sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai horison yang luas diantara masyarakat.
2. Sebagai kelompok masyarakat yang paling lama menduduki bangku sekolah, sampai di universitas mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik yang terpanjang diantara angkatan muda.
3. kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik di kalangan mahasiswa. Di Universitas, mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah, suku, bahasa dan agama terjalin dalam kegiatan kampus sehari-hari.
4. Mahasiswa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian dan prestise dalam masyarakat dengan sendirinya merupakan elit di dalam kalangan angkatan muda.
Pada saat generasi yang memimpin bangsa ini sudah mulai berguguran pada saat itulah kita yang akan melanjutkan tongkat estafet perjuangan bangsa ini. Namun apabila hari ini ternyata kita tidak berusaha mambangun diri kita sendiri apakah mungkin kita kan membangun bangsa ini suatu saat nanti?
Jawabannya ada pada diri anda masing-masing.
Kemampuan yang harus dimiliki seorang mahasiswa
1. Soft skill (Kemampuan Kepribadian)
- Soft Skill atau kemampuan kepribadian adalah salah satu faktor untuk sukses pada pendidikan yang ditempuh dan juga penentu untuk masa depan seseorang dalam menjalani hidupnya.
- Karena soft skill hampir 80 % menentukan keberhasilan seseorang.
Kemampuan soft skill yang perlu dimiliki seorang mahasiswa dan harus di kembangkan agar kemampuan itu tumbuh
- Manajemen waktu
- Kepemimpinan (leadership)
-Tingkat kepercayaan yang tinggi (self confidence)
- Selera humor yang tinggi (sense of humor)
-Memiliki keyakinan dalam agama (spiritual capital)
2. Hard Skill (Kemampuan Intelektual)
Kemampuan intelektual hanya mendukung 20 % dari pencapaian prestasi dan keberhasilan seseorang
Jika kemampuan soft skill ini kita punyai, maka kita akan menjadi orang yang baik di masa depan, sebab saat ini yang terjadi banyak orang yang penting meningkatkan intelektual mereka padahal untuk menjadi orang yang berjiwa sosial harus meliki soft kill yang matang. Dalam berinteraksi dengan masyarakat intelektual sangat sedikit digunakan walaupun intelektual harus dimiliki oleh setiap mmahasiswa, akan tetapi itu hanya untuk melengkapi saja.
PERAN MAHASISWA PENDIDIKAN EKONOMI
Walaupun Mahasiswa Pendidikan Ekonomi kelak adalah lulusan nya sebagai guru
tetapi Mahasiswa Pendidikan Ekonomi akan tetap menghadapi berbagai masalah
perekonomian, perdagangan, akuntansi, maupun manajemen yang terjadi di dalam
masyarakat. Maka mahasiswa pendidikan ekonomi harus memiliki kemampuan middle
management juga untuk mengembangkan semangat wiraswasta tinggi sehingga
diharapkan mampu menciptakan lapangan kerja mandiri dalam berbagai aspek
kegiatan ekonomi.
PERAN MAHASISWA EKONOMI
Mahasiswa Ekonomi diarahkan untuk menghasilkan tenaga ahli bagi pembangunan nasional sehingga mampu mengisi kebutuhan masyarakat akan tenaga kerja mahir, trampil mampu berdiri sendiri dan peka terhadap perubahan sosial, ilmu teknologi dengan memilih jalur manajemen keuangan, manajemen pemasaran, manajemen sumber daya manusia, dan manajemen operasi. Dengan demikian mahasiswa tersebut mampu memangku jabatan , baik dalam jabatan manajerial maupun
Mahasiswa Ekonomi diarahkan untuk menghasilkan tenaga ahli bagi pembangunan nasional sehingga mampu mengisi kebutuhan masyarakat akan tenaga kerja mahir, trampil mampu berdiri sendiri dan peka terhadap perubahan sosial, ilmu teknologi dengan memilih jalur manajemen keuangan, manajemen pemasaran, manajemen sumber daya manusia, dan manajemen operasi. Dengan demikian mahasiswa tersebut mampu memangku jabatan , baik dalam jabatan manajerial maupun
HUBUNGAN ANTARA KEMISKINAN, KEWIRAUSAHAAN, DAN PERAN MAHASISWA
Peran mahasiswa dalan menanggulangi kemiskinan sangat penting, karena
mahasiswa sebagai salah satu pihak yang paling diharapkan kiprahnya dalam
mengatasi kemiskinan. Selain mengandalkan aspek intelektual, jiwa sowia,
kepekaan, dan sikap aktif inisiatif juga menjadi kunci bagi mahasiswa
berkontribusi mengatasi kemiskinan. Bagaimana mahasiswa bisa berkontribusi
mengentaskan kemiskinan? Yaitu dengan cara mahasiswa bisa kreatif dengan
bergerak dalam bidang Kewirausahaan ( Enterpreneurship). Kewirausahaan diyakini
banyak kalangan sebagai salah satu solusi terhadap masalah sosial dan ekonomi.
Kewirausahaan mampu menciptakan inovasi yang di ukur dari seberapa besar unsur
yang di kreasikan dalam memberikan dampak terhadap kehidupan sosial masyarakat.
Inovasi yang muncul dari kewirausahaan tersebut akan menumbuhkan hasil ekonomi
sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Perilaku
manusia selalu di dorong motif ekonomi. Dengan mendapat hasil ekonomi,manusia
akan terpacu dan terus memelihara usahanya. Peran sosial tercapai, kemiskinan
bisa diatasi, dan keberlanjutan kegiatan lebih terjamin.
DAFTAR
PUSTAKA
Alfinn, Mely G. Tan, dan Soemardjan. 1980.
Kemiskinan Struktural Suatu Bunga Rampai. Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta.
Baker, David, 1980, ” Memahami kemiskinan di Kota”. Prisma, 6 98), hal. 3-8.
Bappenas. 1993. Panduan Program Inpres Desa Tertinggal. Jakarta.
Kuncorojakti, Dorojatun. 1986. Kemiskinan di Indonesia. Yayasan Obor, Jakarta.
Sumardjan, Selo. 1993. Kemiskinan (Suatu Pandangan Sosiologis). Makalah, Jakarta.
Saragih, Bungaran, dan Rahmat Pambudy. 1994. Pengentasan Kemiskinan Melalui Agribisnis di Pedesaan. TPB, Bogor.
Alma, Prof. Dr. Buchari, 2007, Kewirausahaan, Edisi Revisi, Penerbit Alfabeta, Bandung.
Kasmir, 2007, Kewirausahaan, PT RajaGrafindo Perkasa, Jakarta.
Soesarsono, 2002, Pengantar Kewirausahaan, Buku I, Jurusan Teknologi Industri IPB, Bogor.
Suryana, 2001, Kewirausahaan, Penerbit Salemba Empat, Jakarta.
Triton PB., 2007, Entrepreneurship : Kiat Sukses Menjadi Pengusaha, Tugu Publisher, Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment