1. Kemiskinan
a. Pandangan tentang kemiskinan
Pebedaan pandangan dari setiap ahli tentang
kemiskinan merupakan hal yang wajar. Hal ini karena data, dan metode penelitian
yang berbeda , tetapi justru terletak pada latar belakang idiologisnya. Menurut
Weber (Swasono , 1987), ideology bukan saja menentukan macam masalah yang
dianggap penting, tetapi juga mempengaruhi cara mendefenisikan masalah sosial
ekonomis, dan bagaimana masalah sosial ekonomi itu diatasi. Kemiskinan disepakati
sebagai masalah yang bersifat sosial ekonomi, tetapi penyebab dan cara
mengatasinya terkait dengan ideologi yang melandasinya. Untuk memahami ideologi
tersebut ada tiga pandangan pemikiran yaitu konservatisme, liberalisme, dan
radikalisme (Swasono, 1987). Penganut masing-masing pandangan memiliki cara
pandang yang berbeda dalam menjelaskan kemiskinan. Kaum konservatif memandang
kemiskinan bermula dari karakteristik khas orang miskin itu sendiri. Orang
menjadi miskin karena tidak mau bekerja keras , boros, tidak mempunyai rencana,
kurang memiliki jiwa wiraswasta, fatalis, dan tidak ada hasrat untuk
berpartisipasi.
Menurut Oscar Lewis (1983), orang-orang miskin
adalah kelompok yang mempunyai budaya kemiskinan sendiri yang mencakup
karakteristik psikologis sosial, dan ekonomi. Kaum liberal memandang bahwa
manusia sebagai makhluk yang baik tetapi sangat dipengaruhi oleh lingkungan.
Budaya kemiskinan hanyalah semacam realistic and situational adaptation pada
linkungan yang penuh diskriminasi dan peluang yang sempit. Kaum radikal
mengabaikan budaya kemiskinan, mereka menekankan peranan struktur ekonomi,
politik dan sosial, dan memandang bahwa manusia adalah makhluk yang kooperatif,
produktif dan kreatif.
Philips dan Legates (1981) mengemukakan empat
pandangan tentang kemiskinan, yaitu pertama, kemiskinan dilihat
sebagai akibat dari kegagalan personal dan sikap tertentu khususnya ciri-ciri
sosial psikologis individu dari si miskin yang cendrung menghambat untuk
melakukan perbaikan nasibnya. Akibatnya, si miskin tidak melakukan rencana ke
depan, menabung dan mengejar tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Kedua,
kemiskinan dipandang sebagai akibat dari sub budaya tertentu yang diturunkan
dari generasi ke generasi. Kaum miskin adalah kelompok masyarakat yang memiliki
subkultur tertentu yang berbeda dari golongan yang tidak miskin, seperti
memiliki sikap fatalis, tidak mampu melakukan pengendalian diri, berorientasi
pada masa sekarang, tidak mampu menunda kenikmatan atau melakukan rencana bagi
masa mendatang, kurang memiliki kesadaran kelas, atau gagal dalam melihat
faktor-faktor ekonomi seperti kesempatan yang dapat mengubah nasibnya. Ketiga,
kemiskinan dipandang sebagai akibat kurangnya kesempatan, kaum miskin selalu
kekurangan dalam bidang keterampilan dan pendidikan untuk memperoleh pekerjaan
dalam masyarakat. Keempat, bahwa kemiskinan merupakan suatu
ciri struktural dari kapitalisme, bahwa dalam masyarakat kapitalis segelintir
orang menjadi miskin karena yang lain menjadi kaya. Jika dikaitkan dengan
pandangan konservatisme, liberalisme dan radikalisme, maka poin pertama dan
kedua tersebut mencerminkan pandangan konservatif, yang cendrung mempersalahkan
kemiskinan bersumber dari dalam diri si miskin itu sendiri. Ketiga lebih
mencerminkan aliran liberalisme, yang cendrung menyalahkan ketidakmapuan
struktur kelembagaan yang ada. Keempat dipengaruhi oleh pandangan radikalis
yang mempersalahkan hakekat atau prilaku negara kapitalis.
Masing-masing pandangan tersebut bukan hanya
berbeda dalam konsep kemiskinan saja, tetapi juga dalam implikasi kebijakan
untuk menanggulanginya. Keban (1994) menjelaskan bahwa pandangan konservatif
cendrung melihat bahwa program-program pemerintah yang dirancang untuk mengubah
sikap mental si miskin merupakan usaha yang sia-sia karena akan memancing
manipulasi kenaikan jumlah kaum miskin yang ingin menikmati program pelayanan
pemerintah. Pemerintah juga dilihat sebagai pihak yang justru merangsang
timbulnya kemiskinan. Aliran liberal yang melihat si miskin sebagai pihak yang
mengalami kekurangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, pelatihan,
pekerjaan dan perumahan yang layak, cendrung merasa optimis tentang kaum miskin
dan menganggap mereka sebagai sumber daya yang dapat berkembang seperti halnya
orang-orang kaya. Bantuan program pemerintah dipandang sangat bermanfaat dan
perlu direalisasikan. Pandangan radikal memandang bahwa kemiskinan disebabkan
struktur kelembagaan seperti ekonomi dan politiknya, maka kebijakan yang dapat
ditempuh adalah dengan melakukan perubahan kelembagaan ekonomi dan politik
secara radikal.
Menurut Flanagan (1994), ada dua pandangan yang
berbeda tentang kemiskinan, yaitu culturalist dan structuralist. Kulturalis
cendrung menyalahkan kaum miskin, meskipun kesempatan ada mereka gagal
memanfaatkannya, karena terjebak dalam budaya kemiskinan. Strukturalis
beranggapan bahwa sumber kemiskinan tidak terdapat pada diri orang miskin,
tetapi adalah sebagai akibat dari perubahan priodik dalam bidang sosial dan
ekonomi seperti kehilangan pekerjaan, rendahnya tingkat upah, diskriminasi dan
sebagainya. Implikasi dari dua pandangan ini juga berbeda, terhadap konsep
kulturalis perlu dilakukan perubahan aspek kultural misalnya pengubahan
kebiasaan hidup. Hal ini akan sulit dan memakan waktu lama, dan biaya yang
tidak sedikit. Terhadap konsep kulturalis perlu dilakukan pengubahan struktur
kelembagaan seperti kelembagaan ekonomi, sosial dan kelembagaan lain yang
terkait.
2. Pengertian Kemiskinan
Memahamai substansi kemiskinan merupakan langkah
penting bagi perencana program dalam mengatasi kemiskinan. Menurut Sutrisno
(1993), ada dua sudut pandang dalam memahami substansi kemiskinan di Indonesia.
Pertama adalah kelompok pakar dan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
mengikuti pikiran kelompok agrarian populism, bahwa kemiskinan itu
hakekatnya, adalah masalah campur tangan yang terlalu luas dari negara dalam
kehidupan masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat pedesaan. Dalam
pandangan ini, orang miskin mampu membangun diri mereka sendiri apabila
pemerintah memberi kebebasan bagi kelompok itu untuk mengatur diri mereka
sendiri. Kedua, kelompok para pejabat, yang melihat inti dari masalah
kemiskinan sebagai masalah budaya. Orang menjadi miskin karena tidak memiliki
etos kerja yang tinggi, tidak meiliki jiwa wiraswasta, dan pendidikannya
rendah. Disamping itu, kemiskinan juga terkait dengan kualitas sumberdaya
manusia. Berbagai sudut pandang tentang kemiskinan di Indonesia dalam memahami
kemiskinan pada dasarnya merupakan upaya orang luar untuk memahami tentang
kemiskinan. Hingga saat ini belum ada yang mengkaji masalah kemiskinan dari
sudut pandang kelompok miskin itu sendiri.
Kajian Chambers (1983) lebih melihat masalah
kemiskinan dari dimensi si miskin itu sendiri dengan deprivation trap, tetapi
Chambers sendiri belum menjelaskan tentang alasan terjadinya deprivation
trap itu. Dalam tulisan ini dicoba menggabungkan dua sudut pandang dari
luar kelompok miskin, dengan mengembangkan lima unsur keterjebakan yang
dikemukakan oleh Chambers (1983), yaitu : (1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan
fisik, (3) Keterasingan, (4) Kerentanan, dan (5) Ketidak berdayaan.
Pengertian kemiskinan disampaikan oleh beberapa
ahli atau lembaga, diantaranya adalah BAPPENAS (1993) mendefisnisikan
keimiskinan sebagai situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena kehendak
oleh si miskin, melainkan karena keadaan yang tidak dapat dihindari dengan
kekuatan yang ada padanya. Levitan (1980) mengemukakan kemiskinan adalah
kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai
suatu standar hidup yang layak. Faturchman dan Marcelinus Molo (1994)
mendefenisikan bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dan atau rumah
tangga untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Menurut Ellis (1994) kemiskinan
merupakan gejala multidimensional yang dapat ditelaah dari dimensi ekonomi,
sosial politik. Menurut Suparlan (1993) kemiskinan didefinisikan sebagai suatu
standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi
pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang
umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Reitsma dan Kleinpenning
(1994) mendefisnisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan seseorang untuk
memenuhi kebutuhannya, baik yang bersifat material maupun non material.
Friedman (1979) mengemukakan kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk
memformulasikan basis kekuasaan sosial, yang meliptui : asset (tanah,
perumahan, peralatan, kesehatan), sumber keuangan (pendapatan dan kredit yang
memadai), organisiasi sosial politik yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai
kepentingan bersama, jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang atau
jasa, pengetahuan dan keterampilan yang memadai, dan informasi yang berguna.
Dengan beberapa pengertian tersebut dapat diambil satu poengertian bahwa kemiskinan
adalah suatu situasi baik yang merupakan proses maupun akibat dari adanya
ketidakmampuan individu berinteraksi dengan lingkungannya untuk kebutuhan
hidupnya.
3. Budaya Kemiskinan
Sumarjan (1993) mengemukakan bahwa budaya
kemiskinan adalah tata hidup yang mengandung sistem kaidah serta sistem nilai
yang menganggap bahwa taraf hidup miskin disandang suatu masyarakat pada suatu
waktu adalah wajar dan tidak perlu diusahakan perbaikannya. Kemiskinan yang
diderita oleh masyarakat dianggap sudah menjadi nasib dan tidak mungkin
dirubah, karena itu manusia dan masyarakat harus menyesuaikan diri pada
kemiskinan itu, agar tidak merasa keresahan jiwa dan frustrasi secara
berkepanjangan. Dalam rangka budaya miskin ini, manusia dan masyarakat menyerah
kepada nasib dan bersikap tidak perlu, dan bahkan juga tidak mampu menggunakan
sumber daya lingkungan untuk mengubah nasib.
Menurut Oscar Lewis (1983), budaya kemiskinan
merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian, dan sekaligus juga merupakan reaksi
kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang
berstrata kelas, sangat individualist dan berciri kapitalisme. Budaya tersebut
mencerminkan suatu upaya mengatasi rasa putus asa dan tanpa harapan, yang
merupakan perwujudan dan kesadaran akan mustahilnya mencapai akses, dan lebih
merupakan usaha menikmati masalah yang tak terpecahkan (tak tercukupi syarat,
tidak sanggupan). Budaya kemiskinan melampaui batas-batas perbedaan daerah,
perbedaan pedesaan-perkotaan, perbedaan bangsa dan negara, dan memperlihatkan
perasaan yang mencolok dalam struktur keluarga, hubungan-hubungan antar
pribadi, orientasi waktu, sistem-sistem nilai, dan pola-pola pembelanjaan.
Menurut Lewis (1983), budaya kemiskinan dapat
terwujud dalam berbagai konteks sejarah, namun lebih cendrung untuk tumbuh dan
berkembang di dalam masyarakat yang memiliki seperangkat kondisi: (1) Sistem
ekonomi uang, buruh upahan dan sistem produksi untuk keuntungan, (2) tetap
tingginya tingkat pengangguran dan setengah pengangguran bagi tenaga tak
terampil; (3) rendahnya upah buruh; (4) tidak berhasilnya golongan
berpenghasilan rendah meningkatkan organisiasi sosial, ekonomi dan politiknya
secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah; (5) sistem keluarga bilateral
lebih menonjol daripada sistem unilateral; dan (6) kuatnya seperangkat
nilai-nilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan penumpukan harta kekayaan
dan adanya kemungkinan mobilitas vertical, dan sikap hemat, serta adanya
anggapan bahwa rendahnya status ekonomi sebagai hasil ketidak sanggupan pribadi
atau memang pada dasarnya sudah rendah kedudukannya.
Budaya kemiskinan bukanlah hanya merupakan
adaptasi terhadap seperangkat syarat-syarat obyektif dari masyarakat yang lebih
luas, sekali budaya tersebut sudah tumbuh, ia cendrung melanggengkan dirinya dari
generasi ke generasi melaui pengaruhnya terhadap anak-anak. Budaya kemiskinan
cendrung berkembang bila sistem-sistem ekonomi dan sosial yang berlapis-lapis
rusak atau berganti, seperti masa pergantian feodalis ke kapitalis atau pada
masa pesatnya perubahan teknologi. Budaya kemiskinan juga merupakan akibat
penjajahan yakni struktur ekonomi dan sosial pribumi diobrak, sedangkan atatus
golongan pribumi tetap dipertahankan rendah, juga dapat tumbuh dalam proses
penghapusan suku. Budaya kemiskinan cendrung dimiliki oleh masyarakat strata
sosial yang lebih rendah, masyarakat terasing, dan warga urban yang berasal
dari buruh tani yang tidak memiliki tanah.
Menurut Parker Seymour dan Robert J. Kleiner
(1983) formulasi kebudayaan kemiskinan mencakup pengertian bahwa semua orang
yang terlibat dalam situasi tersebut memiliki aspirasi-aspirasi yang rendah
sebagai salah satu bentuk adaptasi yang realistis. Beberapa ciri kebudyaan
kemiskinan adalah : (1) fatalisme, (2) rendahnya tingkat aspirasi, (3)
rendahnya kemauan mengejar sasaran, (4) kurang melihat kemajuan pribadi , (5)
perasaan ketidak berdayaan/ketidakmampuan, (6) Perasaan untuk selalu gagal, (7)
Perasaan menilai diri sendiri negatif, (8) Pilihan sebagai posisi pekerja
kasar, dan (9) Tingkat kompromis yang menyedihkan. Berkaitan dengan budaya
sebagai fungsi adaptasi, maka suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk mengubah
nilai-nilai yang tidak diinginkan ini menuju ke arah yang sesuai dengan
nilai-nilai golongan kelas menengah, dengan menggunakan metode-metodre psikiatri
kesejahteraan sosial-pendidikan tanpa lebih dahulu (ataupun secara bersamaan)
berusaha untuk secara berarti mengubah kenyataan kenyataan struktur sosial
(pendapatan, pekerjaan, perumahan, dan pola-pola kebudayaan membatasi lingkup
partisipasi sosial dan peyaluran kekuatan sosial) akan cendrung gagal. Budaya
kemiskinan bukannya berasal dari kebodohan, melainkan justru berfungsi bagi
penyesuaian diri.
Hal penting dalam membahas kemiskinan dan
kebudayaan adalah untuk mengetahui seberapa cepat orang-orang miskin akan
mengubah kelakuan mereka, jika mereka mendapat kesempatan-kesempatan baru; dan
macam hambatan atau halangan-halangan yang baik atau buruk yang akan timbul
dari reaksi tersebut terhadap situasi-situasi masa lampau. Untuk menentukan
macam kesempatan-kesempatan yang harus diciptaan untuk menghapus kemiskinan,
yaitu mendorong oang-orang msikin melakukan adapatasi terhadap
kesempatan-kesempatan yang bertentangan dengan pola-pola kebudayaan yang mereka
pegang teguh dan cara mereka dapat mempertahankan pola-pola kebudayaan yang
mereka pegang teguh tersebut agar tidak akan bertentangan dengan
aspirasi-aspirasi lainnya. Hanya orang-orang miskin yang tidak mampu menerima
kesempatan-kesempatan karena mereka tidak dapat membuang norma-norma kelakukan yang
digolongkan sebagai pendukung kebudayaan kelas bawah.
Akibat kemiskinan tersebut, sebahagian besar
penduduk Indonesia menghadapinya dengan nilai-nilai pasrah atau nrimo
(kemiskinan kebudayaan). Terbentuknya pola pikir dan prilaku pasrah itu dalam
jangka waktu yang lama akan berubah menjadi semacam “institusi permanen” yang
mengatur prilaku mereka dalam menyelesaikan problematika di dalam hidup mereka
atau krisis lingkungan mereka sendiri (Lewis, 1968 dalam Haba, 2001). Menurut
penganut paradigma kemiskinan kebudayaan ini, orang yang berada dalam kondisi
serupa tidak sanggup melihat peluang dan jalan keluar untuk memperbaiki
kehidupannya. Karakteristik kelompok ini terlihat dari pola substensi mereka
yang berorientasi dari tangan ke mulut (from hand to mouth) (Haba,
2001 ).
4. Kemiskinan Struktural
Kemiskinan struktural menurut Selo Sumarjan
(1980) adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena
struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber pendapatan
yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan strukturl adalah suasana
kemiskinan yang dialami oleh suatu masyarakat yang penyebab utamanya bersumber
pada struktur sosial, dan oleh karena itu dapat dicari pada struktur sosial
yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri. Golongan kaum miskin ini terdiri
dari ; (1) Para petani yang tidak memiliki tanah sendiri, (2) Petani yang tanah
miliknya begitu kecil sehingga hasilnya tidak cukup untuk memberi makan kepada
dirinya sendiri dan keluargamnya, (3) Kaum buruh yang tidak terpelajar dan
tidak terlatih (unskilled labourerds), dan (4) Para pengusaha tanpa
modal dan tanpa fasilitas dari pemerintah (golongan ekonomi lemah).
Kemiskinan struktural tidak sekedar terwujud
dengan kekurangan sandang dan pangan saja, kemiskinan juga meliputi kekurangan
fasilitas pemukiman yang sehat, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi
dengan dunia sekitarnya, sosial yang mantap.
Beberapa ciri kemiskinan struktural, menurut
Alpian (1980) adalah (1) Tidak ada atau lambannya mobilitas sosial (yang miskin
akan tetap hidup dengan kemelaratanya dan yang kaya akan tetap menikmati
kemewahannya), (2) mereka terletak dalam kungkungan struktur sosial yang
menyebabkan mereka kekurangan hasrat untuk meningkatkan taraf hidupnya, dan (3)
Struktur sosial yang berlaku telah melahirkan berbagai corak rintangan yang
menghalangi mereka untuk maju. Pemecahan permasalahan kemiskinan akan bisa
dilakukan bilamana struktur sosial yang berlaku itu dirubah secara mendasar.
Soedjatmoko (1984) memberikan contoh kemiskinan structural;
(1) Pola stratifikasi (seperti dasar pemilikan dan penguasaan tanah) di desa
mengurangi atau merusak pola kerukukan dan ikatan timbal-balik tradisional, (2)
Struktur desa nelayan, yang sangat tergantung pada juragan di desanya sebagai
pemilik kapal, dan (3) Golongan pengrajin di kota kecil atau pedesaan yang
tergantung pada orang kota yang menguasai bahan dan pasarnya. Hal-hal tersebut
memiliki implikasi tentang kemiskinan structural : (1) kebijakan ekonomi saja
tidak mencukupi dalam usaha mengatasi ketimpangan-ketimpangan struktural,
dimensi struktural perlu dihadapi juga terutama di pedesaan; dan (2) perlunya
pola organisasi institusi masyarakat pedesan yang disesuaikan dengan
keperluannya, sebaga sarana untuk mengurangi ketimpangan dan meningkatkan bargaining
power, dan perlunya proses Sosial learning yang spesifik dengan
kondisi setempat.
Adam Malik (1980) mengemukakan bahwa untuk
mencari jalan agar struktur masyarakat Indonesia dapat diubah sedemikian rupa
sehingga tidak terdapat lagi di dalamnya kemelaratan structural. Bantuan
yang terpenting bagi golongan masyarakat yang menderita kemiskinan struktural
adalah bantuan agar mereka kemudian mampu membantu dirinya sendiri.
Bagaimanapun kegiatan pembangunan yang berorientasi pertumbuhan maupun pemerataan
tidak dapat mengihilangkan adanya kemiskinan struktural.
Pada hakekatnya perbedaan antara si kaya dengan
si miskin tetap akan ada, dalam sistem sosial ekonomi manapun. Yang lebih
diperlukan adalah bagaimana lebih memperkecil kesenjangan sehingga lebih
mendekati perasaan keadilan sosial. Sudjatmoko (1984) berpendapat bahwa,
pembangunan yang semata-mata mengutamakan pertumbuhan ekonomi akan
melanggengkan ketimpangan struktural. Pola netes ke bawah memungkinkan
berkembangnya perbedaan ekonomi, dan prilaku pola mencari nafkah dari pertanian
ke non pertanian, tetapi proses ini akan lamban dan harus diikuti dengan
pertumbuhan yang tinggi. Kemiskinan tidak dapat diatasi hanya dengan membantu
golongan miskin saja, tanpa menghadapi dimensi-dimensi struktural seperti
ketergntungan, dan eksploitasi. Permasalahannya adalah dimensi-dimensi
struktural manakah yang mempengarhui secara langsung terjadinya kemiskinan,
bagaimana ketepatan dimensi untuk kondisi sosial budaya setempat.
Sinaga dan White (1980) menunjukkan aspek-aspek
kelembagaan dan struktur agraris dalam kaitannya dengan distribusi pendapatan
kemiskinan: (1) penyebaranan teknologi, bahwa bukan teknologi itu sendiri,
tetapi struktur kelembagaan dalam masyarakat tenpat teknologi itu masuk yang
menentukan bahwa teknologi itu mempunyai dampak negatif atau positif terhadap
distribusi pendapatan (2) lembaga perkreditan pedesaan, perkereditan yang
menginginkan tercapainya pemerataan pendapatan, maka program perkreditan
tersebut justru harus diskriminatif, artinya subsidi justru harus diberikan
kepada petani kecil, bukan pemerataan berdasaran pemilikan atau penguasaan
lahannya; (3) kelembagaan yang mengatur distribusi penguasaan atas
faktor-faktor produksi di pedesaan turut menentukan tingkat pendapatan dari
berbagai golongan di masyarakat,karena tidak semata-mata ditentukan oleh
kekuatan faktor ekonomi (interaksi antara penawaran dan permintaan) saja: dan
(4) Struktur penguasaan atas sumber-sumber produksi bukan tenaga kerja
(terutama tanah dan modal) yang lebih merata dapat meningkatkan pendapatan
penduduk yang berada dibawahi garis kemiskinan.
D. Kebijakan Pembangunan dan Kesenjangan
Sosial
Semenjak Orde Baru berkuasa, ada beberapa
kebijakan yang diterapkan dalam bidang ekonomi. Salah satu kebijakan adalah
memacu pertumbuhan ekonomi dengan mengeluarkan undang-undang Penanaman Modal
Asing dengan memberikan persyaratan dan peraturan-peraturan yang lebih ringan
dan menarik kepada investor dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya. Kegiatan
industri meningkat tajam dan sangat pada GDP mengalami kenaikan dari sekitar 9
persen pada tahun 1970 menjadi sekitar 17 persen pada tahun 1992 (Booth dan
McCawley, 1986:82 dan Sjahrir 1993:16). Pertumbuhan ekonomi juga mengalami
kenaikan. Pendek kata, selama Orde Baru perekonomian mengalamii kemajuan pesat.
Namun, bersamaan dengan itu ketimpangan sosial atau sekelompok kecil
masyarakat, terutama mereka yang memiliki akses dengan penguasa politik dan
ekonomi, sedangkan sebagian besar yang kurang atau hanya memperoleh sedikit
manfaat. Bahkan, ada masyarakat merasa dirugikan dan tidak mendapat manfaat
sama sekali. Kesenjangan sosial semakin terasa mengkristal dengan munculnya
gejala monopoli. Monopoli dan oligopoly dan memperkecil akses usaha kecil untuk
menggambarkan usaha mereka. Menurut Revrisond Baswer (dikutip dalam Bernes
(1995:1) hampir seluruh cabang produksi dikuasai oleh perusahaan konglomerat.
Perusahaan-perusahaan besar konglomerat menguasai berbagai kegiatan produksi
murni dari produksi, eksploitasi hasil hutan, konstruksi, industri otomotif,
transpotasi, perhotelan, makanan, perbankan, jasa-jasa keuangan, dan media
komunikasi. Diperkirakan 200 konglomerat menguasai 58 persen PDB. Usaha-usaha
rakyat yang kebanyakan kecil dan tradisional hanya menguasai 8 persen. Kesenjangan
sosial ini tidak hanya mengganggu pertumbuhan ekonomi rakyat tetapi menyebabkan
ekonomi rakyat mengalami proses marjinalisasi.
Selain kebijakan ekonomi, kebijakan yang diduga
turut menstrimulir kesenjangan social adalah kebijakan penataan lahan (tata
ruang). Penerapan kebijakan penataan lahan selama ini belum dapat mendatangkan
manfaat bagi masyarakat. Berbagai kekuatan dan kepentingan telah mempengaruhi
dalam penerapan. Tarik menarik berbagai kekuatan dan kepentingan telah
menimbulkan konflik antara pengusaha besar dan masyarakat. Dalam konflik
acapkali kepentingan masyarakat (publik) diabaikan dan cenderung mengutamakan
kepentingan sekelompok orang (pengusaha). Penelitian Suhendar (1994)
menyimpulkan bahwa: ”Kooptasi tanah-tanah : terutama di pedesaan oleh kekuatan
besar ekonomi dan luar komunitas semakin menggejala. Pembangunan sektor
ekonomi, seperti pembangunan kawasan industri, pabrik-pabrik, sarana wisata
telah menyita banyak lahan penduduk. Demikian pula, instansi-instansi
pemerintah memerlukan tanah untuk pembangunan perkantoran, instruktural
ekonomi, fasilitas sosial, perumahan, dan lain-lain. Di perkotaan, pemilik
modal (konglomerat) bekerja sama dengan birokrasi membeli tanah-tanah penduduk
untuk kepentingan pembangunan perumahan mewah, pusat perbelanjaan dan lain-lain.
Begitu pula di pedesaan pemilik modal menggusur penduduk dan memanfaatkan Iahan
untuk kepentingan agroindustri, perumahan mewah, dan lapangan golf. Dalam
banyak kasus, banyak tanah negara yang selama ini dikuasai penduduk dengan
status tidak jelas di jadikan sasaran dan cara termudah untuk menggusur
penduduk”
Dampak dari penerapan kebijakan penatagunaan
lahan antara lain adalah terjadinya marjinalisasi dan pemiskinan masyarakat
desa yang tanahnya dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan yang dalam banyak
hal belum dan kurang dapat memberikan keuntungan ekonomis bagi rakyat.
E. Penutup
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan
bahwa kebijakan pembangunan yang diterapkan oleh Pemerintahan Orde Baru bukan
hanyak menciptakan kemiskinan dan kesenjangan pada masa itu, melainkan dampak
kebijakan tersebut telah menciptakan kemiskinan dalam berbagai bentuk baik
budaya kemiskinan maupun kemiskinan struktural hingga pasca runtuhnya orde baru
(masa reformasi). Kebijakan pemerintah pada era tersebut pun telah menciptakan
kesenjangan sosial, baik kesenjangan antardaerah, antargolongan maupun
antarmasyarakat yang hingga kini belum dapat diperbaiki oleh pemerintahan era
reformasi.
DAFTAR PUSTAKA
Alfinn, Mely G. Tan, dan Soemardjan. 1980.
Kemiskinan Struktural Suatu Bunga Rampai. Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta.
Baker, David, 1980, ” Memahami kemiskinan di Kota”. Prisma, 6 98), hal. 3-8.
Bappenas. 1993. Panduan Program Inpres Desa Tertinggal. Jakarta.
Bernas, 1994, “Golkar Akan Perjuangkan Adanya Perimbangan Fasilitas Krediti antara Pengusaha Besar dan Kecil”, Rabu, 24 Agustus, hal 5.
Booth, Anne dan McCawley, 1986, Ekonomi Orde Baru, Jakarta.
Breman, Jan, 1985, “Sistem tenaga Kerja Dualistis: Suatu Kritik Terhadap Konsep Sektor Informal” . dalam Chris Manning dan Tajuddin Noor Effendi (Ed), Urbanisasi, Pengangguran, dan sector Informal di Jakarta., Gramedia. Jakarta.
Chambers, Robert. 1983. Pembangunan Desa Mulai dari Belakang. LP3ES, Jakarta.
Dawam Raharjo, 1984, Transformasi Pertanian, Industrialisasi, dan Kesempatan Kerja, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia.
Effendi, Tajuddin Noor, 2000, Pembangunan Krisis, dan Arah Reformasi, Muhnmmadiyah Universitas Press, Jakarta.
Ellis, G.F.R. 1984. The Demotion Of Poverty. Social Indicator Research.
Faturrochman, Marcelius Molo. “Karakteristik Rumah Tangga Miskin”. Populasi, Volume 5, Nomor 1, Tahun 1994.
Friedman, John, 1992. Empowerment: Politics of Allternation Development, Massachusetts, Blackwell Publisher.
Gans, Herbert J. Kebudayaan dan Kelas dalam Studi Mengenai Kemiskinan. Sebuah Pendekatan Terhadap Penelitian Anti Kemiskinan; Dalam Kemiskinan Di Perkotaan di edit oleh Parsudi SuparIan, Jakarta – Sinar Harapan – Yayasan Obor 1983.
Johnson, Doyle P, 1986n, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jilid I), diindonesiakan oleh Robert M.Z Lawang, Gramedia Jakarta.
———————4986b, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (JiIid II), diindonesiakan oleh Robert M.Z Lawang, Gramedia Jakarta
Kuncoro, Mundrajad dan Anggito Abimayu, 1995, “Struktur dan Kinerja Industri Indonesia dalam Era Deregulasi dan Globalisasi”, kelola. 10 (4), hal. 43 -57.
Kuncorojakti, Dorojatun. 1986. Kemiskinan di Indonesia. Yayasan Obor, Jakarta.
Lewis. “Kebudayaan Kemiskinan”; Dalam Kemiskinan di Perkotaan di edit oleh Parsudi Suparlan, Jakarta – Sinar Harapan – Yayasan Obor 1983.
Mubyarto, Loekman Soetrisno, dan Michael Dove. 1984. Nelayan dan Kemiskinan. Studi Ekonomi Antropologi di Desa Pantai, Rajawali, Jakarta.
Mubyarto. 1986. Prospek Pedesaan 1986. P3PK, Yogyakarta.
………………….. 1991. Menanggulangi Kemiskinan. Adytia Media, Yogyakarta.
Nasikun, 1984. Sistem Sosial dan Indonesia, CV Rajawali. Jakarta.
Papanek, Gustav dan Dorodjatun Kuncorojakti, 1986, ” Penduduk Miskin di Jakarta”, dalam Dorodjatun Kuncoro jakti (ed) I Kemiskinan di Indonesia, yayasan Obor, Jakarta.
Pernia, Ernesto M. (Ed), 1994, Urban Poverty in Asia: A Survey of Critical Issues, Hongkong, Oxford University Press.
Poloma, Margareth M, 2000, Sosiologi Kontemporer, Rajawali Press, Jakarta.
Ritzer, george, 1992. Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda, disadur oleh Alimandnn, CV rajawali, Jakarta.
Sanderson, Stephen K, 2000, Makro Sosiologi, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, Edisi Kedua, Rajawali Press, Jakarta.
Saragih, Bungaran, dan Rahmat Pambudy. 1994. Pengentasan Kemiskinan Melalui Agribisnis di Pedesaan. TPB, Bogor.
Seymour Parker, dan Robert J. Kleiner. Lewis. “Kebudayaan Kemiskinan Sebuah Dimensi Penyesuaian Diri”; Dalam Kemiskinan di Perkotaan di edit oleh Parsudi Suparlan, Jakarta – Sinar Harapan – Yayasan Obor 1983.
Suhendar, Endang, 1994, Pemetaan Pola-Pola Sengketa Tanah di Jawa Barat, Yayasan Akatiga, Bandung.
Sumardjan, Selo. 1993. Kemiskinan (Suatu Pandangan Sosiologis). Makalah, Jakarta.
Suparlan, Parsudi. 1993. Kemiskinan di Perkotaan. Yayasan Obor, Indonesia.
Veegar, K.J., 1985, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu- masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, Gramedia, Jakarta.
Weber, Max, 1964, The Theory of Social and Economic Organization, Edited with an introduction by Talcott Parson, The Free Press, New York, Londan , Toronto, Singapore.
White, Benyamin, 1986, Rural Non-Farm Employment in Java recent. Development, policy Issues and Research needs, UNDP/ILO and Departement Of Man Power. Jakarta.
terima kasih sangat bermanfaat, ijin mengutip bang, ....
ReplyDelete